Part 16

854 32 0
                                    

Tiga hari berlalu terasa cepat. Jennifer tak pernah melupakan kejadian di malam hari itu yang memaksanya mendekam di jeruji besi selama satu malam. Hawa dingin dari bawah menusuk menembus pori-pori kulitnya, ingatan itu masih jelas terangkai dalam pikirannya.

Tiba-tiba pikiran Jennifer terbuka, satu per satu pertanyaan yang membuatnya terkena razia mulai berangsur menemukan titik terang. Satu nama yang ada di pikiran Jennifer.

“Kamu di mana?” Jennifer mengirim pesan singkat kepada seseorang di ponselnya. Hampir satu jam berlalu pesan itu tak kunjung dibalas.

Beberapa jam menunggu, suara pemberitahuan singkat berbunyi dari ponsel Jennifer. Ia segera membuka pesannya. “Aku sedang sibuk menyusun skripsi,” jawabnya melalui pesan singkat.

“Boleh aku bertemu sebentar? Tidak lama, setelah itu aku janji tidak akan mengganggumu lagi.”

“Kenapa bicara seperti itu? Baiklah, tunggu aku akan ke sana.”

Satu jam berlalu, suara deru mesin tiba-tiba saja terdengar dari luar halaman rumahnya. Jennifer lantas turun dari kamar atas dan mengecek tamu yang datang. Matanya menatap ke seluruh penjuru. Pandangannya jatuh pada seorang yang baru saja turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu depan. Jennifer menuruni anak tangga secepatnya dan membuka pintu.

“Hai, Jennifer. Apa kabar?” Tangan pria itu terbuka dan siap menerima pelukan dari Jennifer.

Bukannya sebuah pelukan yang mendarat di dadanya, melainkan sebuah tamparan keras yang jatuh seketika di pipi kiri pria tersebut.

“Kenapa kau lakukan ini? Apa salahku?” Tangannya mengusap pipi kirinya yang masih memerah.

“Aku tahu kekejianmu. Kau mendekatiku hanya untuk pekerjaanmu sebagai jurnalis, bukan? Lalau kau seenaknya menyebarkan berita-berita tentang pelacur hingga aparat memberantas gadis malam, termasuk aku!” Jennifer tak mampu mengontrol emosinya, amarahnya memuncak saat pertama kali ia bertemu.

“A-apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”

“Jangan berpura-pura bodoh! Kau yang membuat berita di koran harian New York Times tentang mewabahnya pelacur di kota ini. Sekarang enyahlah dari hadapanku!”

“Sebentar, Jennifer. Kau tampaknya salah paham dengan pekerjaanku ini.”

“Apalagi yang akan kau ceritakan? Sudah jelas-jelas kau yang menjadi dalang dibalik tulisan itu.”

“Stop!” potong Michael, suaranya tak kalah tinggi dari Jennifer. Kemudian mereka diam sesaat. “Aku memang bekerja sebagai jurnalis, di New York Times juga. Tapi bukan bagianku yang menulis di koran harian itu, percayalah,” bujuk Michael agar Jennifer bisa kembali lagi percaya padanya.

“Lalu siapa kalau bukan dirimu? Selama ini hanya dirimu yang tahu tentang kegiatan ini. Kamu pula yang setiap malam menemaniku menjadi seorang pelacur.”

“Beri sedikit waktu, agar aku bisa membuktikan bahwa aku bukan dalang dibalik koran itu.” Tiba-tiba saja suara Michael kembali turun.

“Apa aku harus percaya pada semua kata-katamu? Sedangkan kamu sendiri ke mana saat aku masuk dalam sel tahanan? Seolah hilang ditelan bumi.”

“Aku tahu, aku ada, dan aku peduli tentangmu.”

“Omong kosong!” Jennifer membalikkan badan, ia membelakangi Michael lalau pergi menuju sofa.

Sementara Michael masih berdiri terpaku di depan pintu. Pipinya masih berdenyut merasakan tamparan keras. Tangannya mengusap halus. Ia pun berjalan menuju sofa ruang tamu kemudian duduk berhadapan dengan Jennifer. “Aku tahu tentang kabarmu masuk penjara, aku juga khawatir dengan dirimu. Itu sebabnya aku menemui Alan Smith memberitahukan kejadian ini.”

Sejenak Jennifer terdiam mendengar penjelasan dari Michael. ‘Berarti malam itu yang membebaskanku tahu dari Alan Smith, sementara Alan juga tahu dari Michael, ah ... tapi—‘ Jennifer menepis semua terkaan yang menyelimuti pikirannya. “Kau tahu dari mana Alan Smith?”

“Sebagai seorang jurnalis, tentu tidak sulit mencari kontak seorang Alan Smith. Apalagi ia seorang pejabat Amerika Serikat,” puji Michael menyeringai.

“Alasan yang logis. Kali ini aku percaya ...” Jennifer menghapus keraguannya pada Michael. “... tapi ke mana saja kau setelah aku bebas dari penjara? Tidak pernah ada kabar sama sekali.”

“Aku sedang menyusun skripsi. Aku tak mau tahun ini tertinggal dan mengulang lagi tahun depan. Itu sebabnya aku tak menghubungimu untuk fokus ke skripsi.”

“Michael Sarjana Hukum ... cukup keren,” sindir Jennifer.

“Terima kasih,” singkat Michael, “Kau sendiri bagaimana? Akan tetap menjadi seorang wanita jalang atau fokus pada kuliahmu?”

Lagi-lagi Jennifer terdiam. Pertanyaan seperti itu terlalu susah baginya untuk dijawab. Antara kebutuhan dan juga keinginan, keduanya tak bisa saling lepas. Kebutuhan untuk hidup layaknya orang-orang berduit, juga keinginan untuk menjadi manusia normal yang haus akan gelar pendidikan.

“Jennifer ...,”

“Oh, ya.” Jennifer kembali tersadar dalam lamunannya. “Sorry.”

“Kau baik-baik saja?”

“Tentu. Aku hanya mengingat tentang mimpi-mimpiku saat kecil, terima kasih.”

“Kau butuh hiburan? Aku bisa mengantarmu lagi.”

“Ya. Tapi tidak untuk sekarang. Aku masih lelah dan kau juga sibuk dengan skripsimu. Aku tak ingin membuatmu kehilangan kesempatan ini.”

“Skripsiku sudah dalam tahap revisi. Tidak membutuhkan waktu yang lama. Jadi aku bisa mengantarmu untuk pergi ke suatu tempat hari ini.”

“Terima kasih.” Jennifer kembali tersenyum setelah beberapa hari tak pernah terlihat mengembangkan senyum manisnya. Ia bangkit dari duduk kemudian meninggalkan Michael sendirian.

Tidak lama, Jennifer kembali ke hadapan Michael memakai sweter tipis dan tas mungil. “Ayo, kita pergi ke desa itu lagi!” kata Jennifer bersemangat.

Michael tak kalah semangat dari Jennifer. Ia segera berdiri dan jalan beriringan menuju halaman parkir tempat mobilnya bersemayam. Seketika mereka melaju menuju sebuah pedesaan bagian pesisir Amerika Serikat.

Untuk kedua kalinya, Jennifer masih terkagum-kagum melihat situasi dan pemandangan desa. Tak pernah habisnya kata-kata pujian untuk kawasan desa, tempat di mana ia kecil. Namun berbeda dengan yang pertama kali datang, kali ini air mata sedih itu hilang bersama terhempas rasa haru bahagia.

Michael yang membawanya pun ikut merasa bahagia tatkala senyum bahagia terpancar dari wajah Jennifer.

“Terima kasih, Michael.”

“Apa pun yang membuatmu bahagia, aku tidak keberatan.”

Jennifer tersenyum mendengar ucapan itu, ia mengalihkan pandangannya ke arah sinar mentari yang kian meredup.

Black  Business: Lady Escort √Where stories live. Discover now