Part 8

2K 61 8
                                    

Jennifer kaget bukan kepalang. Seorang lelaki tua duduk bersantai di atas sofa menantinya. “Sejak kapan berada di sini, Pak? Bagaimana bisa masuk ke rumah ini?”

Lelaki itu tertawa kecil kemudian menunjukkan sebuah gantungan dari balik saku blazernya. “Kamu tidak tahu? Aku pemilik rumah ini. Tentunya aku punya duplikat kunci agar bisa keluar masuk dengan bebas.”

Jennifer mendengkus kesal. “Dasar sialan! Pantas saja aku diberi libur malam hari ini. Rupa-rupanya aku suruh menemani lelaki tua ini,” pikirnya. Ia menuju dapur dan memasukkan makanan yang ia beli ke dalan kulkas. Tanpa disadari, lelaki itu mengikutinya dari belakang.

“Sayang ...,” lirihnya. Sontak membuat Jennifer terkejut dan spontan melihat ke arah belakang.

Tanpa aba-aba lagi, lelaki itu mencium bibir Jennifer yang sedikit terbuka. Ia tak bisa menghidar, seluruh badannya dibuat tak bisa bergerak. Tenaganya tak sekuat lelaki itu meski ia lebih muda.

“Stop, Pak.” Jennifer berusaha melawan, ia memberontak dengan kekuatan penuh.

Lelaki itu melepaskan ciuman dan cengekeramannya. “Jangan panggil aku seperti itu. Tampak membuatku seperti lebih tua.”

“Aku tidak suka paksaan!” Jennifer menegaskannya.

“Baiklah, tapi jangan memanggilku lagi dengan sebutan itu. Kamu bisa menyebut namaku dengan Alan Smith.”

“Yes ... mister Alan Smith.” Ia mengulanginya sekali lagi. Kemudian membereskan kembali makanan yang tadi sempat terhenti oleh pelakuan Alan Smith. Sementara Smith hanya melihat Jennifer sambil berdiri, ia menunggunya hingga selesai.

Beberapa saat kemudian, Jennifer telah selesai, ia menutup pintu kulkas rapat-rapat lalu berdiri menghadap Alan Smith. “What you want?”

Dengan buasnya Alan Smith kembali mencumbu Jennifer. Tangannya liar meremas payudara milik gadis berambut pirang itu. Tanpa malu, Jennifer menikmati permainan yang diberikan oleh lelaki yang berumur tiga kali lipat darinya. Matanya terpejam menikmati itu.

Adegan itu terjadi di dapur. Rumah yang sebesar ini dengan kehidupan satu orang membuat Alan Smith leluasa untuk menikmati tubuh Jennifer setiap kali ia menginginkannya. Hampir satu jam mereka berada di dapur melakukan adegan suami-istri. Hingga akhirnya Alan Smith dan Jennifer sama-sama kelelahan. Mereka kembali menuju ruang tamu dan duduk di sofa, saling berhadapan.

“Kamu bisa menolongku?” tanya Alan Smith membereskan dasi yang lusuh.

“Apa, Tuan?”

“Aku pinjam sertifikat rumahmu untuk melakukan pinjaman pada bank. Hanya tiga tahun saja. Aku janji akan memberikan kembai secepatnya.”

“Bagaimana denganku?”

“Kamu masih bebas tinggal di sini. Aku hanya meminjam sertifikatnya untuk penjamin pinjamanku.”

“Baiklah.” Jennifer berdiri dengan susah payah. Ia berjalan menuju kamarnya untuk mengambil berkas. Beberapa menit berlalu ia membawa amplop cokelat itu ke hadapan Alan Smith lalu memberikannya. “Silakan.”

Alan Smith menerimanya, ia membuka seluruh berkas-berkas dari dalam amplop dengan teliti. “Terima kasih,” ucapnya sesaat setelah mengecek berkas itu.

Dari luar rumah, Michael memperhatikan ke sekeliling rumah Jennifer. Ia menemukan sebuah mobil hitam mewah yang terparkir di garasi. Ia memajukan mobilnya agar tak ada seseorang pun yang curiga.

Di saat yang lain, Alan Smith pun keluar meninggalkan Jennifer. Setelah cukup jauh dan hilang dari pandangan Michael, ia memundurkan mobilnya lalu masuk ke halaman rumah Jennifer. Bukannya kaget, Jennifer justru tersenyum, ia sudah mengetahui bahwa mobil yang datang sekarang adalah Michael.

“Hi ...,” sapa Jennifer berdiri tersorot lampu mobil.

Michale mematikan mesin kendaraannya lalu turun menemui Jennifer. “Siapa lelaki tua itu?” Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Oh, itu?” Jennifer menunjukkan dengan sorot matanya. “Dia papaku.”

“Benarkah?” Michael memastikannya. Ia tak mudah begitu saja pada ucapan Jennifer apalagi pada saat itu ia pernah mengatakan orang tuanya telah meninggal saat Jennifer masih kecil.

“Iya. Itu papaku yang memberikan rumah ini. Kenapa?”

“Tidak.” Michael tersenyum kecut seolah memaksakan hatinya harus percaya pada ucapan Jennifer.

“Kenapa? Kamu tak percaya?” Jennifer tahu Michael ragu pada ucapannya. Terlihat dari raut wajah Michael yang tiba-tiba saja berubah dari biasanya. “Itu papa amgkatku. Sejak orang tuaku meninggal, aku diangkat oleh beliau.” Ia terus meyakinkan Michael.
“Ya, aku percaya.” Michael tersenyum.

Jennifer melangkah memasuki rumahnya kembali diikuti oleh Michael dari belakang.

***

Satu minggu berlalu, sontak terdengar kabar berita bahwa Alan Smith mendirikan sebuah persahaan baru. Berita perusahaan penyaji makanan instan itu terdengar di berbagai media.

Pasalnya, seorang anggota parlemen Amerika Serikat dilarang keras membuat perusahaan yang sama dengan BUMN. Jadi, Alan Smith mau tidak mau untuk melelangnya ke pihak swasta. Ia harus lepas tangan dari kepengurusan perusahaan tersebut atau mundur dari parlementer Amerika.

Alan Smith kembali menemui Jennifer di rumahnya tengah malam itu. Ia meminta Jennifer untuk berpura-pura menjadi pihak sipil yang akan membeli saham perusahaan tersebut.

“Maukah kamu ikut terlibat dari rencana ini?”

“Maaf, Alan. Aku tidak bisa mengikuti alurmu. Aku lebih memilih menjadi wanita malam saja tanpa harus terjun ke dunia bisnis. Its not my passion,” tolak Jennifer halus.

Alan mengerti keadaan Jennifer. Tak seharusnya ia melibatkan seorang pacur dengan bisnsisnya. Ia harus mencari bantuan kepada orang lain yang memang pada posisinya, pembisnis.

Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang