Part 1

10.5K 179 25
                                    

Mc. Hayden dipersiapkan untuk menjadi presiden Amerika Serikat. Ia merupakan politikus yang mempunyai kharisma, tampak terpandang bagi publik yang menerimanya, dan didukung oleh teman-teman yang mempunyai kekuasaan.

Ia lahir dari keluarga terpandang. Orang tuanya yang mempunyai perusahaan kilang minyak dan mertuanya dari kalangan politikus terpandang juga. Mungkin itu sebabnya ia beralih profesi menjadi politikus karena terpengaruh mertuanya. Terlepas dari benar atau salah, yang pasti karier Mc. Hayden naik drastis hingga menduduki kursi Presiden untuk empat tahun ke depan.

Dari hasil pernikahan dengan Barbara, Mc. Hayden dikaruniai sepasang anak. Daniel Hayden dan Anna Hayden. Usia dari kedua anak tersebut hanya berbeda 3 tahun. Banyak orang mengira jika mereka berdua pacaran karena keakraban mereka.

Daniel Hayden merupakan anak pertama, berumur 24 tahun. Meskipun ia tak memiliki ketampanan atau kharisma seperti Mc. Hayden, tapi ia cerdas, disukai orang, dan memiliki latar belakang yang tepat. Perawakannya pendek, dengan wajah biasa dan mata biru yang tulus.

"Selamat, Pa, telah menjadi seorang presiden sekarang," kata Daniel seraya mengulurkan tangan.

"Terima kasih, Nak. Atas dukungan dari keluarga pula Papa bisa menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat."

"Tidak usah dilebihkan. Sebentar lagi kuliahku selesai, Papa bisa memberiku pekerjaan yang layak? Setidaknya bisa memasukkanku menjadi seorang hakim."

Mendengar itu, kening Mc. Hayden mengerut. "Papa tidak akan menyalah gunakan kekuasaan ini untuk memperkaya diri, apalagi untuk membantu kariermu. Papa tidak mengajarkanmu menjadi seorang penjilat, Daniel!"

Daniel menjawab sengit, "Papa macam apa? Membantu anaknya saja tidak mau. Aku lebih baik tidak punya seorang Papa dari pada seperti ini."

"Sudah Papa bilang berapa kali ... Papa tidak akan sewenang-wenangnya!" Dia naik pitam. Suranya meninggi, bahkan terdengar hingga ke seluruh sudut rumah. Anna dan Mama yang jauh berada di kamarnya masing-masing pun mendengar keributan antar anak dan papanya.

Daniel yang merasa kesal langsung pergi begitu saja. Ia membanting pintu dengan keras saat melewatinya. Tentu saja kelakuannya membuat Papa geram, kalau saja bukan seorang Presiden, ia akan menampar anaknya dengan keras sejak tadi.

"Aku tidak mengajarkanmu seperti itu, Bung!" teriak Hayden.

Mama dan Anna semakin penasaran, mereka menemui papanya di ruang tamu. Mereka tak mendapati apa-apa kecuali Hayden yang duduk sambil memegang kepalanya.

"Kenapa, Pa?" Istrinya menenangkan Hayden dengan mengusap pundaknya.

"Aku tidak habis pikir ... kenapa Daniel begitu antusias ingin memanfaatkan jabatanku sebagai Presiden untuk memuluskan kariernya. Apa aku salah mendidiknya?"

"Tidak, Pa. Kita harus sabar menghadapi sifat kerasnya dia. Lama kelamaan mungkin akan luluh juga," bela Mama yang masih mengusap bahu Hayden.

Sementara di sisi lain ... di Black Rooster, sebuah tempat di mana para wartawan di Washington D.C. biasa berkumpul. Michael, reporter muda di New York Times duduk di depan sebuah meja bersama empat orang rekannya, menyaksikan upacara pelantikan presiden melalui sebuah televisi besar di atas meja bar.

"Lelaki sialan itu membuatku kalah taruhan sepuluh dolar," keluh salah seorang temannya.

"Kuperingatkan kau agar tidak bertaruh melawan Mc. Hayden," ejek Michael. "Ia punya pasukan gaib, Sobat. Sebaiknya kau percaya."

Kamera televisi yang meliput acara itu menunjukkan rakyat yang berkumpul memadati Pennsylvania Avenue. Orang-orang itu membungkukkan badan dalam jaket mereka, menahan angin bulan Januari yang dingin, sambil mendengarkan jalannya upacara melalui pengeras suara ditempatkan di sekitar panggung. Jason Merli ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, selesai mengambil sumpah presiden baru itu, yang kemudian menjabat tangannya dan melangkah ke depan pengeras suara.

"Lihatlah, orang-orang di sana yang kedinginan dan membungkuk itu." Michael menunjuk ke salah satu sekumpulan orang di layar televisi. "Kenapa tidak di rumah saja seperti kita menonton saat ini di layar televisi."

"Salah satu alasan paling benar adalah mereka akan menyombongkan dirinya kelak berbicara kepada anak cucunya kalau waktu muda ia pernah ada di pelantikkan Mc. Hayden," duga salah seorang temannya lagi.

***

Anna menemui Daniel di salah satu bar. Dia melihat Daniel duduk dengan lesu sambil meneguk beberapa kali minuman keras yang disediakan bar tender.

"Kenapa kau di sini? Seharusnya kau pulang!" Anna memarahi kakaknya.

Daniel melebarkan kelopak matanya. "Tidak akan. Aku tidak akan pernah pulang. Anggap saja aku sudah mati!"

"Jaga bicaramu! Kau bisa bekerja yang lain tanpa harus melibatkan kekuasaan Papa."

Daniel tersentuh. Ia menatap dalam-dalam mata adiknya. Kemudian mendekatkan bibir ke daun telinga Anna dan membisikkan sesuatu amat pelan.

"Tidak! Kau sedang mabuk parah."

"Aku tidak mabuk. Aku masih sadar. Kalau kau ikut dalam permainanku, kau bisa membeli apa pun yang kau inginkan. Percayalah!" Daniel meyakinkan adiknya beberapa kali. Tembok pertahanan Anna pun akhirnya luluh juga setelah sekian kalinya dibujuk oleh Daniel.

"Baiklah, selama Papa berkuasa saja."

"Selama itu masih aman, kenapa tidak dilanjutkan?" Daniel tersenyum kecut.


Black  Business: Lady Escort √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang