Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 6

Start from the beginning
                                    

"Ndak usah dipikirkan," ujar Jon tiba-tiba. Robi merasa pikirannya terbaca. Jon melanjutkan, "Kamu fokus bertahan hidup dulu. Kamu laki-laki sendiri, kan? Lindungi gadis-gadis itu."

"Iya, Pak."

"Jangan iya-iya terus. Saya ndak mendengar keyakinan dari iya-iyamu itu."

"Iya—"

"Nak. Saya tahu. Kamu sedang takut."

Robi tak menjawab.

"Ndak ada salahnya takut. Yang salah adalah ndak yakin. Yang benar bukan menghadapi halang rintang tanpa rasa takut, tapi menghadapi halang rintang meski rasa takut menerjang."

"Kalau gitu kenapa bapak berhenti jadi dokter?" Robi menantang.

"Memangnya yang saya lakukan saat ini apa?" Jon tergelak. Robi tersipu merah. Jon menyambung, "Saya berhenti bukan karena saya takut. Saya berhenti karena saya masih muda. Belum tumbuh kebijaksanaan untuk punya keteguhan seperti tadi."

"Jadi bapak main wayang?"

"Kok tahu?"

"Di ruang tamu ada wayang."

"Hahaha! Tertebak."

"Apa bapak ngerasa salah berhenti jadi dokter?"

"Jelas."

"Terus kenapa berhenti?"

"Merasa salahnya telat. Waktu jatuh miskin baru sadar."

"Soalnya kalau jadi dokter, bapak pasti kaya kan?"

"Hahaha! Dasar kamu. Yah, itu ada benarnya juga. Setelah bosan main wayang, ya saya jadi tukang urut. Kalau ada yang sakit parah, saya jadi dukun."

"Bapak nyesel nggak nerusin jadi dokter?"

"Oh, ndak."

"Tapi tadi bapak ngomongnya ngerasa salah!"

"Itu merasa salah. Beda sama menyesal."

"Emang bedanya apa pak?"

"Salah itu wajar. Tak mungkin kamu bisa luput dari kesalahan. Tapi menyesal, itu bagian dari ketidakyakinan. Itu tandanya kamu merasa ada pilihan yang lebih tepat, yang tak akan menjerumuskan kamu ke kondisi kamu sekarang. Memangnya kamu bisa jamin pilihan lain akan lebih baik? Memangnya pilihan yang dulu tak ada sisi terangnya? Ndak. Kamu tak bisa jamin. Kamu tak bisa menebak masa depanmu. Kamu juga tak bisa menebak apa yang akan terjadi kalau kamu memilih pilihan lain. Tapi kalau kamu yakin, bahkan kesalahan pun bisa jadi pelajaran ketimbang penyesalan."

Robi memandang Jon. Gigi Jon yang tinggal seberapa terpamerkan oleh senyumnya. Robi ikut tersenyum, hampir tertawa. Kemudian, ia diam sementara.

"Pak, saya khawatir sama Sarah."

"Kenapa? Pacarmu?"

Robi tersenyum kikuk.

"Kenapa khawatir? Temanmu satu lagi ndak kamu khawatirkan?"

"Bukan gitu, Pak. Saya khawatir. Dia kelewat keras sama dirinya sendiri."

"Iya?"

"Kayaknya sih."

"He! Kok ndak yakin? Baru saya bilang panjang lebar! Dasar. Hahaha!"

"Ya maaf, Pak."

"Kalau kamu merasa dia begitu, ya santaikanlah dia. Ajak bicara lah. Nanti waktu makan, nyanyi saja kalian. Atau menari. Jangankan di waktu-waktu seperti sekarang; pada waktu biasa saja kalian yang masih muda selalu butuh hiburan. Istirahat sejenak.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now