Kata Asma (9)

897 44 4
                                    

Aku sangat ingin menulis banyak hal di luar rasa pedih. Tapi perasaanku kerap dibekap oleh sesak dan tak punya kuasa untuk abai.

Kalimat-kalimatku seperti malam. Gelap. Suram. Namun ramai dengan rindu yang sungguh-sungguh mengharap selajur cahaya matahari datang. Aku pikir, menyakitkan itu melemahkan. Betapapun aku berpikir demikian, tapi ternyata, menyakitkan itu menguatkan.

Klise sekali, kan?

Tapi yang terjadi padaku memang begitulah.

Selajur cahaya itu, yang selama ini kurindu, ternyata menjelma menjadi tanda titik dan koma pada setiap prosa-prosa pilu. Di sudut-sudut kalimat. Di tengah-tengah kata. Sementara di dalam serangkaian kalimat itu, aku menemukan keluasan dan rasa aman. Mendapat kekuatan.

Karena aku tidak akan sedetail itu mengeja satu per satu kesedihan, kata-kata ini sengaja dirangkai sebagai bukti. Bahwa, yang kukatakan barusan adalah sebuah pengakuan. Bahwa, meski tulisanku seringkali terbaca suram, tapi penulisnya tidak selamanya merasa demikian. Karena percaya atau tidak (tapi kuharap semoga kau mau percaya) yang pada mulanya tercekam, lambat laun pasti bebas dari cekaman. Seperti aku, yang sesak hatinya mengepul bersama huruf-huruf, telah terbebaskan.

Juga karena aku tidak akan sedetail itu mengeja satu per satu kesedihan, kata-kata ini sengaja dirangkai sebagai bukti. Seperti yang sudah aku katakan di awal, bahwa aku sangat ingin menulis banyak hal di luar rasa pedih. Tentang kamu, misalnya. Entah akan dimulai kapan. Tapi aku sudah bertekad menulisnya.

Suatu saat, pasti.

Madah Qolbu❣️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang