Chapter 3 : Tak ada yang Abadi

392 19 1
                                    

Alex Fang membuka halaman demi halaman buku hariannya yang telah kusam. Ia melihat-lihat tulisannya yang kurang bagus, setelah ia membaca bagian akhir halaman buku itu. Buku itu baru saja membawanya ke masa lalunya. Di mana orang-orang yang dicintainya masih ada dan hidup bersamanya.

  Saat darahmu mengalir

  sesungguhnya dirimu menangis

  Saat hatimu sepi

  sesungguhnya jiwamu menangis

  Karena tak ada yang Abadi

  tak ada  yang Abadi

Sepenggal puisi mewakili perasaan Alex Fang saat ini. Puisi yang ia buat sendiri dan ditulis di halaman belakang buku hariannya. Saat orang-orang yang dicintainya meninggal, ia masih saja hidup di dunia yang fana. Mungkin sang maut enggan menjamahnya. Atau malaikat pencabut nyawa benci padanya karena ada iblis di dalam dirinya.

Hidup seperti itu, bukan kebahagiaan yang ia rasakan. Tapi suatu Keabadian yang semu. Kesepianlah yang terus-menerus menjalari kehidupannya.

Sejak berumur sepuluh tahun ia harus kehilangan ayahnya. Lalu ibunya menyusul sang ayah di saat ia berumur lima belas tahun. Lalu saat ia telah menemukan cinta sejatinya, Claire Rosemaid dan anaknya mati mengenaskan di depan matanya sendiri.

Ayah angkatnya yang selama ini membibingnya kembali ke jalan yang benar pun telah tiada. Petani tua itu harus meninggal karena usia dan suatu penyakit. Mungkin semua itu adalah Karma yang diberikan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa. Karena ia telah silau akan harta dan kekuasaannya sebagai hakim.

Tetapi nasehat ayah angkatnya sedikit menentramkan hatinya. "Setiap tindakan yang kita lakukan akan berbuah di masa depan. Takdir mungkin tidak bisa diubah. Tapi masa depan dan nasib bisa kita ubah, sekecil apapun perubahannya," ia mengingat ucapan petani tua itu berkali-kali.

31 Desember 2011

  Terima kasih untuk orang-orang yang telah mencintaiku selama ini. Perjalanan hidupku baru akan dimulai hari ini!

  Manchester, dua ratus tahun kemudian.

  Kota ini sangat cocok menjadi tempat persembunyianku sebagai seorang Vampir. Aku Alex Fang, telah mendapat ijin sebagai detektif Supranatural Inggris di bawah  naungan C.I.A. Dengan kata sandi Third Eye.

. . . .

Sebuah pembukaan di halaman awal buku harian yang baru saja dibelinya. Pulpen hitamnya diletakkan di samping kanan buku hariannya. Setelahnya ia menutup buku harian itu sambil menghela napas. Lalu ia menyatukan jari-jemari kedua tangannya.

Matanya melirik ke sebuah jendela kamarnya. Di luar masih banyak salju yang bertaburan dari langit. Ia juga mengamati setiap bangunan yang tertutup salju. Ratusan tahun berlalu, dunia berubah drastis seiring berakhirnya perang dunia kedua.

Ia mendekati jendela itu. Matanya bergerak ke kanan lalu ke kiri. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Apa yang dia lihat sesaat itu nyata? Apa benar mereka kembali? Semua orang yang dicintainya. Dia pasti berkhayal setelah membaca buku hariannya.

"Demi Tuhan. Yang telah tiada tidak akan kembali. Mereka tidak sepertiku yang antara ada dan tiada," ucapnya sambil berbalik badan dan melihat lukisan keluarganya. Lalu ia kembali mendekati meja kerjanya. Ia membuka laci dan mengambil sebuah kalung pemberian ayah angkatnya.

Beratus tahun ia juga menikmati tahun baru dalam kesendiriannya. Ia hanya tersenyum ketika melihat kembang api mengudara dan meledak di langit Inggris. Seberkas ingatan menemuinya kembali. Ingatan itu tentang tahun baru bersama anak istri, orang tuanya, dan ayah angkatnya. Masing-masing memberi kesan tersendiri. Mungkin Fang, selamanya tidak akan melupakan hal seperti itu.

Di luar sana sangat ramai. Orang Manchester sedang memeriahkan tahun baru yang baru saja terlewat. Satu menit setelah jam dinding berbunyi pada jarum yang menunjukkan angka dua belas.

Darah segar sedang berbondong-bondong melewati jalan di depan rumahnya. Kali ini Fang sangat jarang bernafsu iblis. Mungkin berkat tahun baru atau Fang benar-benar seutuhnya manusia di malam itu. Fang juga tidak mengendus dan mencium aroma darah. Tapi detak jantungnya masih belum ia rasakan.

Third Eye : Supranatural JusticeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora