Kakiku lelah, besar, bengkak, tak lurus
Berjalan mundur terus melawan arus
Kadang terseok di antara batu kepalsuan
Mengurut kakimu yang terkilir masa lalu kejam
Aku menjadi jelaga di perapianku sendiri
Menjadi ilalang di kebun subur yang sepi
Dijejali beribu rayu manis yang mengikis
Sampai semut-semut muntah dibuatnya
Bukan perkara aku yang berjuang sendiri
Atau masalah kau yang malu mengakui
Hanya soal aku yang bimbang menfsirkanmu
Senja kah? Biru kah? Tetap saja bagiku abu-abu
Sebenarnya permainan seperti apa yang sedang kau canangkan?
Jika aku ini layang-layang, kau kah yang tarik-ulurkan?
Atau aku hanya melayang-layang tanpa kepastian?
Jika aku petak-umpet, kau kah yang curang sedang aku kehilangan?
Aku lelah bermain sendiri tanpa bayang
Jika kau tak cukup peka untuk menjamahi hatiku
Masihkah kuminta kau terus membaca setiap halamanku?
Bahkan ketika ia telah kusut dan kusam pun kau tetap acuh
Memaksamu bertahan adalah sebuah kekejaman
Sedang melepasmu hilang bagiku sebuah kepiluan
Jika masih bisa bermain sendiri, biar aku mainkan lagi
Mati, sepi, senyap, sendiri, terserak-serak. Aku sudah biasa
(Salatiga, Februari 2017)