0.2 Ishana

220 70 3
                                    

.
.
.
.

***

SEMAKIN hari rasanya dunia semakin tidak menyenangkan saja. Kejadian pagi ini bisa dijadikan salah satu contohnya. Belum tepat pukul lima namun mimpiku harus buyar lantaran gedoran—hanya ketukan sebenarnya, namun aku keburu kesal—tak menyenangkan pada pintu kamarku.

Pelakunya, hm, siapa lagi kalau bukan saudari angkatku yang sok cantik dan sok baik hati, Ishana Judisty. Apa dia tidak tau adat membangunkan orang? Aku bisa gila kalau begini terus setiap pagi.

“Berisik!!” teriakku dari balik selimut dengan mata masih terpejam.

Hening sejenak sebelum kudengar lagi suaranya yang manis namun tak kalah menjengkelkan. “Ayo bangun, Nanda! Ini hari pertama sekolah! Ayo bangun sebelum Papa sama Mama marah!”

Hal yang paling tidak kusukai dari si jelek Ishana adalah ketika dia membawa-bawa orangtuaku ketika aku tidak mau menurut. Dalam beberapa kesempatan bahkan tanpa segan ia mengadukan diriku pada mereka. Bisa ditebak, orangtuaku akan mulai menceramahiku berjam-jam sambil menunjuk-nunjuk hidung Ishana agar aku menjadikannya suri tauladan.

Mereka tidak tahu saja betapa culasnya anak angkat mereka itu.

“Nanda bangunn!!”

Dengan nyawa yang dipaksa berkumpul sebelum waktunya aku menyibakkan selimut dan berjalan kesal menuju pintu. Nenek lampir itu tidak akan berhenti sebelum aku keluar. Aku membuka pintu dengan tampang jengkel. Dan hal pertama yang aku lihat di pagi yang harusnya cerah ini adalah wajah jelek Ishana.

Oke, sebenarnya Ishana tidak begitu jelek. Hanya saja aku benci memuji-muji atau mengakuinya. Dia memiliki kulit putih bersih serta wajah kecil dan tirus. Rambutnya yang hitam legam sebahu selalu ia gerai. Juga jangan lupakan bibir tipis yang selalu menyunggingkan senyum manis.

Yah Ishana cantik, tapi tetap saja tidak secantik aku.

Aku menatap Ishana yang tersenyum kikuk dengan tak senang. “Gue udah bangun njir!” ketusku. “Lagian sibuk amat sih, gue kan udah pernah bilang gue bakal bangun jam berapapun gue mau! Lo pikun ya? Sehari aja gak ngeselin, gak bisa?”

Aku mendengus saat cewek itu memasang tampang sok polos yang biasa ia gunakan pada orang lain.

“Ini hari pertama sekolah, jangan sampai kita telat,” cicitnya.

Jawabannya membuatku berdecak sebal.  “Halah, udah kelas dua belas juga masih aja takut peraturan!” tukasku seraya mengibaskan tangan.

Ishana menatapku dengan matanya yang belo. “Emang lo nggak mau nyari tempat duduk di kelas baru?”

Pertanyaan bodoh, memangnya aku peduli dengan hal semacam itu? Duduk di manapun aku oke asalkan tidak di barisan depan. Biarlah orang-orang sok rajin seperti Ishana yang menempatinya.

Aku mendengus sekali lagi sebelum menutup pintu dengan keras di depan wajahnya. “Lo aja sendiri!”

Dasar tidak berguna.

Jangan salah paham dulu. Bukan pilihanku untuk menjadi antagonis.

Seandainya saja aku tumbuh di lingkungan yang harmonis, aku tidak akan jadi begini.

1. Tangled StringWhere stories live. Discover now