P R I N C E S S

Mulai dari awal
                                    

Sepertinya bukan Yudi. 😤 Gusti Allah nun Agung. Aku telah berpanjang angan-angan. Duh rasanya ini sudah kali ketiga aku patah hati tersebab terlalu membayangkan hal-hal indah tentang lelaki itu.

Lalu tiba-tiba, aku ingin berbalik arah. Berganti daster kesayangan, yang sudah robek bagian lengan namun tak pernah membuatku patah hati begini.

"Kak, bukannya keluar kok malah mo masuk lagi. Tamunya sudah 30 menit lo nungguin." Merry menarik lenganku.

Matanya berbinar menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jarang-jarang ia mendapati kakak perempuannya berpenampilan begini rupa.

"Mo kemana?," adikku itu bertanya dengan menaham tawa. Aku melepaskan cengkraman tangannya pada lenganku.

"Eh, malah manyun. Hayuk ditemui tamunya. Katanya dia kurir."

"Whats?," aku melongo menatapnya.

Ya Tuhan, jangan biarkan aku jomblo lebih lama lagi. Kedatangan kurir aja dandannya sampai 30 menit. 😩😩

Merry berlalu sambil mengulum senyum diwajahnya yang manis. Wajah manis yang sempat kumiliki juga dulu, saat seragam abu-abu melekat menjadi seragam kebanggaan.

Blouse peach serta dandanan lengkap dengan eyeliner, blush on dan lipstik terasa sangat mewah jika hanya menyambut kurir yang datang. Ingin rasanya berlari ke kamar mengganti pakaian dan menghapus segala jejak make up diwajah.

Kulangkahkan kaki menuju teras dengan malas, tempat lelaki itu menunggu lebih dari setengah jam.

"Ada yang bisa saya bantu, saya Meldi." Sapaku kepada lelaki itu. Ia mendongak, raut wajahnya terlihat sangat terkejut.

"Eh, iya. Saya Dendi. Saya ingin menyampaikan ini." Nampak sekali Dendi kesulitan menyembunyikan rasa terkejutnya.

Ia menyerahkan sebuah kartu berwarna biru berhias bunga lily berwarna putih.

"Hai Mel, sebagai permintaan maafku maukah kamu menemuiku. Dendi akan mengantarmu menuju tempat pertemuan kita. Yudi."

Mataku mengerjap, kuulangi lagi menelisik setiap huruf dan kata yang tertulis disana. Tulisan tangan yang rapi dan nampak ditulis dengan hati-hati.

"Ayo, Kak. Bisa kita berangkat sekarang?," Dendi menyadarkanku dari lamunan.

"Eh, sekarang ya." Aku gugup. Lelaki yang kutaksir berusia 25 tahunan itu mengangguk pelan.

"Aku ambil tas dulu ya." Hatiku tentu melonjak girang, " Yes, gak sia-sia kok aku dandan cantik. Yudi mengajakku kencan."

Aku berlalu menuju kamar. Meraih tas kecil berwarna hitam. Dompet, handphone dan tak ketinggalan seperangkat make up yang sekiranya dibutuhkan kujejalkan kedalamnya.

"Yuk." Ajakku setelah muncul kembali didepan Dendi. Lelaki itu tersenyum. Berdiri dan melangkah menuju mobilnya yang terparkir diluar.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang bisa dibicarakan. Aku jadi heran sendiri, bagaimana bisa aku begitu saja percaya bahwa itu benar surat dari Yudi. Dan siapa Dendi kok bisa-bisanya ia menjadi kurir mengantar surat itu ke rumahku.

"Aku adik sepupu Yudi, Kak." Suara Dendi seolah menjawab keraguanku.

"Owh, Yudi dimana?," tanyaku.

"Nanti Kak Meldi akan tahu. Oh ya, Kak Meldi teman sekolah Yudi ya?," Dendi mencoba mencairkan suasana.

Aku mengangguk, "Iya, teman SMA."

Perbincangan terhenti, ada sebuah telfon masuk ke gawai Dendi. Ia nampak mengobrol dengan si penelfon.

Single AvailableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang