CLBK 2

32.6K 3.8K 333
                                    

Perut keroncongan membuat Lovatta tak bisa berkonsentrasi di jam pelajaran terakhir. Dia gusar di tempat duduknya. Tak mendengarkan penuturan guru tentang Sejarah Indonesia Merdeka. Perutnya terus bunyi karena lapar. Putus cinta membuatnya bodoh cukup lama dan membiarkan perutnya kosong.

Suara bel pulang sekolah seperti surga dunia buat Lovatta. Segera dia mengubah posisi duduknya menghadap Via Lapia.

"Apa?" tanya Via.

"Roti yang tadi lo tawarin gue mana?"

"Ini nih kebiasaan lo. Tadi nolak sekarang nyari. Kemarin minta putus habis itu minta balikan. Dasar! Makanya kalau mau ngelakuin sesuatu itu dipikir dulu."

"Iya, iya. Sekarang rotinya mana? Gue bisa pingsan nih lama-lama."

Via menyerahkan roti tawar isi coklat yang dia beli di kantin kelas X. Karena Lovatta yang tiba-tiba saja lari keluar kantin lantai 2 menuju balkoni di lantai 3. Lovatta memang sering melakukan hal yang tak terduga tiba-tiba lalu menyesal kemudian.

"Kapan sih lo dewasa?" tanya Via.

"Nanti kalau gue udah tinggi," jawab Lovatta asal. "Makasih ya, sekarang gue kenyang. Ayo kita pulang."

Lovatta sudah kembali riang seolah dia bukan tengah patah hati karena kenyang. Tapi saat melihat punggung Langit yang berjalan di depannya, Lovatta kembali murung. Dia menyenggol Via yang sibuk dengan ponsel di tangan.

"Apa?"

"Langit," ucap Lovatta tanpa suara.

"Terus?"

"Gue samperin gimana?"

"Mau ngapain?" Via langsung meletakan ponselnya di saku, dan memperhatikan Lovatta.

"Ya mau minta balikan."

"Jangan nekat deh. Kalau dia nggak mau balikan lo yang malu."

"Nggak pa-pa malu. Nanti kan gue sakit hati jadi gue bisa ngelupain dia. Kalau kayak gini gue malah makin cinta sama dia. Tuh, dari belakang aja dia keren banget."

"Teori dari mana, hah?" Via terperengah tak percaya dengan teori yang disampaikan Lovatta. Sakit hati yang ada bikin semangat hilang, sekolah jadi berantakan. Via jelas menolak teori Lovatta. Dia tak mau prestasi sahabatnya menurun.

"Nggak, nggak. Jangan nekat! Gue nggak mau lo jadi patah semangat sekolah gara-gara ditolak balikan. Lo mau kelas XII nggak masuk kelas unggulan lagi? Malu tahu jadi anak buangan."

"Janji gue nggak akan patah semangat. Gue juga nggak mau kali jadi anak buangan. Itu lebih memalukan daripada ditolak balikan. Terhempas dari kelas unggulan adalah aib bagi siswa SMA Gemintang," seru Lovatta dengan mata memancarkan semangat.

"Really?"

Lovatta mengangguk mantap meski dalam hati tak yakin kalau ditolak balikan tidak lebih memalukan dari jadi anak buangan. Tapi dia berharap Langit mau menerimanya. Dia sudah perhatian selama ini, selalu mengajari Langit pelajaran yang tak Langit pahami, selalu pengertian jika Langit tak bisa bertemu, dan pengertian dengan segala aturan Langit yang memintanya tak mengumbar status. Apa kurangnya? Pikir Lovatta.

Lagipula selama ini Langit juga perhatian dengan segala pesan WA dan mau bergantian mengajarinya jika dia ada pelajaran yang belum paham.

"Lo pulang aja duluan, gue ngejar Langit dulu."

"Heh, jangan, Lov!" Via menarik tangan Lovatta mencegah cewek itu melakukan kebodohan kedua kali.

"Lo tenang aja, gue akan baik-baik aja. Janji!" Lovatta menepuk-nepuk lembut tangan Via dan mengangguk mencoba meyakinkan sahabatnya.

LANGIT KALA SENJA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang