Sawah Besar: Senin, 14 April 2014 - Bagian 4

Start from the beginning
                                    

Danu memikirkan orangtuanya di Semarang: kabar mereka, dan kabar mereka ketika mereka mendengar berita mengenai Jakarta nanti. Danu memikirkan pertanyaan tentang kapan ia akan menikah, kapan ia akan pulang, dan kapan ia akan beranak. Rencana ia kini menjadi tidak menentu. Ia tak tahu apakah ia masih dapat menjadi caraka di sekolah yang sudah begitu hancur. Ia tak tahu apakah ia dapat pulang ke Semarang. Kini, ia memikirkan kontrakan kecilnya di pemukiman kumuh Jakarta Utara. Iya, mungkin aku harus pulang dulu, pikirnya.

Kemudian ketika Danu menengok ke arah Diva, ia kembali mempertanyakan niatnya untuk pulang. Bagaimana dengan gadis ini, pikirnya. Gadis ini tidak bisa dibiarkan sendiri jika aku akan pulang, pikirnya. Tapi ketika ia terbangun nanti, apa yang akan ia pikirkan ketika melihat dirinya berada di kasur kontrakanku, pikirnya lagi. Danu takut gadis ini berpikir macam-macam, tetapi ia juga tidak tahu harus mengapakan gadis itu. Ia kembali meninju meja, dengan sejentik air mata di ujung matanya. Danu berteriak kencang dan lama.

Danu kemudian menarik napasnya dengan dalam dan cepat, berkali-kali. Ia berusaha menahan tangis. Ia tak tahu harus apa. Ingin ia menangis, tetapi ia ragu karena sudah entah berapa tahun ia tak menangis.

Ketika Danu hendak duduk, ia menyadari bahwa ia hampir menduduki tubuh Diva yang terbaring di kursi panjang pos satpam. Ia tak jadi duduk, dan karenanya ia hanya dapat melihat Diva. Ia melihat wajah Diva yang penuh luka kecil, dengan matanya yang bengkak karena menangis. Baju Diva basah kuyup dengan darah Arli. Danu merasa bahwa seragam Diva harus dilepas, pun seragamnya sudah hampir tak berbentuk.

Danu melepas seragam Diva dengan membuka kancingnya satu per satu. Ia jijik dengan basahan darah tiap kali ia harus menyentuh seragam Diva, tetapi ia terus melakukannya. Danu kemudian membuka bajunya. Bau keringatku, pikirnya, tapi setidaknya lebih baik daripada bersimbah darah.

Ketika ia selesai membuka bajunya, ia hendak mendudukkan Diva agar mudah dilepas seragamnya. Sesaat. Danu terhenti dan tertegun. Ia melihat batik di ulu hati Diva, dan pakaian dalam yang dulu dipakai Diva saat malam tahun baru. Pada detik-detik itu Danu menyadari bahwa Arli begitu beruntung. Darah Danu mengalir panas, dan napasnya mulai tak teratur. Ia kembali membayangkan suara-suara yang ia dengar dulu di UKS, ruang BK, dan toilet sekolah. Ia memerhatikan bagaimana rusuk Diva kembang kempis karena bernapas. Ia memerhatikan bibir Diva yang sedikit sobek dan berdarah. Ia membayangkan apa yang dilakukan Arli kepada Diva tiap harinya.

Danu tak menyangkal bahwa Diva sangat cantik, dan tubuhnya sangat gemulai. Tinggi badannya sendiri hampir dikalahkan oleh gadis itu. Kini gadis itu terbaring di depannya, dengan kulit yang terlihat terlalu banyak. Meskipun kulit-kulit itu dihiasi luka dan biru lebam, Danu tak memungkiri pemandangan indah yang ia lihat. Matanya mengarah ke rok Diva, dan memerhatikan kulit yang dipaparkan sobekan rok ketat itu. Ia memerhatikan keserasian pakaian dalam atas dan bawah Diva, dan ia meneguk ludahnya sendiri.

Tak akan ada yang melihat. Tak akan ada yang bertanya. Semua orang sedang sibuk dengan nyawanya masing-masing. Aku pun akan kabur jauh-jauh ke Semarang setelah ini. Mengapa tidak? Pikiran-pikiran itu menghantui Danu pada detik yang lama itu. Ia membuang jauh-jauh semua pikiran yang tadi hampir membuatnya menangis: semua keputusasaannya, semua amarahnya, semua kesedihannya. Setidaknya biarkan aku menikmati apa yang takkan bisa lagi kunikmati, pintanya kepada nasib.

Perlahan, Danu memegang rok Diva. Rok itu pun bersimbah darah seperti seragamnya. Danu jijik, dan segera melepas jemarinya dari rok tersebut. Ia berusaha membuka ritsleting rok tersebut yang berada di punggung bawah Diva. Ia membalikkan Diva, dan melihat batik di atas tulang ekor Diva. Darahnya semakin memanas. Ia membuka ritsleting itu, dan pelan-pelan membuang rok yang basah kuyup itu. Pemandangan yang dilihat Danu kini tak ada duanya.

Tiba-tiba, gawai Danu berdering. Azan shalat Maghrib. Ia mematikan gawai itu, dan juga hasratnya. Berkali-kali ia istigfar. Ia memegang dahinya dan bersender ke jendela pos satpam. Ia menangis, mengutuk dirinya sendiri atas apa yang hampir ia lakukan. Dentuman dan gemuruh di langit kembali ada di indra-indranya. Ia sadar sepenuhnya.

Ujian NasionalWhere stories live. Discover now