29

20 1 0
                                    

Gadis berkacamata dengan rambut lurus ala harajuku itu menyandarkan punggungnya pada badan ranjang dengan lutut ditekuk ke atas, menunduk menatap halaman buku di pangkuan. Bibir mungilnya menutup rapat.

Terdengar deru mobil dari halaman rumah. Bola mata kelamnya bergeser ke kiri, tampak berpikir, lalu kembali pada buku. Tak lama terdengar samar langkah kaki dan pintu yang terbuka.

"Mau sampai kapan kau menghabiskan waktumu untuk buku-buku itu?" Tanya sebuah suara yang bersandar pada ambang pintu. Si gadis tak menjawab, jika dia sudah tenggelam pada sebuah buku, maka tidak ada seorangpun yang dapat menghentikannya

"Untuk apa aku lelah-lelah bicara padamu padahal kau tak bicara?" Renung si pemuda bertubuh kekar.

"Apa kau pernah menganggapku ada?" Tanya si pemuda itu.

"Berisik" kata si gadis tanpa mengalihkan tatapannya dari buku.

"Apa aku ini seperti lebah pengganggu?" Tanya si pemuda berwajah tegas itu. Aruna, si gadis rambut harajuku itu menaikkan tatapannya.

"Aruna!" Panggil ibunya. "Tolong belikan ibu saus!"

"Ya!" Aruna menyelipkan pembatas buku di halaman yang dibacanya, lalu menyimpan buku itu di meja kemudian bangkit menuju pintu kamar yang terbuka. Si pemuda mengekorinya di belakang tapi langsung berjalan ke garasi dan menaiki sepeda.

"Menyingkir" kata Aruna yang kini berdiri di dekat si pemuda.

"Aku yang akan mengantarmu ke warung"

"Tidak perlu"

"Berisik! Cepat naik!" Perintah si pemuda. Aruna naik ke kursi boncengan di belakang sepupunya itu. Rio mulai mengayuh pedal sepeda.

"Kau menyebalkan" kata Rio. "Kenapa kau membantu gadis itu?"

"Aku tidak membantunya. Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan" kata Aruna.

"Yah, dia memang menggemaskan, kau juga menyukainya, kan?" Tanya Rio. Dia berbelok ke kiri di perempatan. Aruna diam. Ya, dia menyukai anak baru itu. Dia sangat mudah disayang. Sopan, rendah hati, pandai menempatkan diri, selain itu, wajah imutnya juga menggemaskan, seperti balita. Kalau kau mengenalnya lebih dekat, kau tak bisa tak menyukainya.

"Dia anak baik dan tidak banyak tingkah" kata Aruna kemudian.

"Bagaimana menurutmu kalau aku terus mendekatinya? Apa dia mau jadi pacarku?"

"Tidak. Meskipun kau menyeretnya ke dalam neraka" kata Aruna.

"Ya ampun, separah itukah penilaiannya tentangku?" Kata Rio sedih.

"Bukan penilaiannya tentangmu yang parah. Dia memang tidak berniat pacaran" jelas Aruna.

"Lega sekali mendengarnya, kalau begitu luka hatiku atas penolakannya tidak terlalu dalam. Setidaknya aku tahu aku tidak dikalahkan si tiang listrik itu" Rio menghentikan Kayuhan sepedanya. Aruna turun dan memasuki sebuah toko. Setelah dia membeli barang titipan ibunya, mereka kembali.

Banyak sekali yang Rio pikirkan di kepalanya, beberapa kali dia ingin mengucapkan apa yang ada di kepalanya, dia mengurungkannya karena tahu sepupunya yang super cuek itu tidak akan menanggapi.

"Seperti kau" kata Rio kemudian sambil mengayuh sepeda.

"Apa?" Tanya Aruna. "Apa yang sepertiku?"

"Anak imut itu sepertimu, tidak mau pacaran" kata Rio.

"Aku tidak melihat manfaat punya pacar selain membuang-buang waktu, uang dan energi" kata Aruna.

"Itu karena kau tidak..." Rio berpikir, memilih kata yang tepat. "Belum jatuh cinta" kata Rio kemudian.

Hei Gadis BerkepangWhere stories live. Discover now