15

21 1 0
                                    

Dua gadis kepang itu menyusuri rak buku berbeda, mencari sumber untuk makalah mereka. Setelah selesai jam pelajaran keempat tadi, mereka segera menuju perpustakaan untuk mencari sumber bahan makalah.

Dari arah pintu Agung masuk. Ia berjalan santai sambil celingukan ke setiap sudut. Beberapa siswi yang kebetulan juga berada di situ berbisik satu sama lain setelah melihat kemunculannya. Mereka tertawa. Mendorong satu sama lain untuk mendekati anak tinggi berwajah tampan itu.

"Permisi..." Sapa salah satu gadis mendekati Agung. Agung menoleh.

"Ya?"

"Boleh minta foto?" Kata si gadis.

"Foto? Dengan saya?" Tanya Agung sambil menunjuk dadanya sendiri. Kedua gadis itu mengangguk malu.

"Oh boleh" kata Agung. Kedua gadis itu mendekat. Agung berada di antara keduanya, mengacungkan dua jari tanda peace lengkap dengan senyuman berlesung pipi. Setelah berfoto, mereka minta tanda tangan lalu pergi dengan tawa senang.

Saat Agung mengamati kepergian dua gadis itu Sari mendekat.
"Sudah mulai punya penggemar rupanya" kata Sari.

"Eh, Sari? Tadi ada yang mencarimu. Kau diminta ke ruang osis, sekarang" kata Agung.

"Sekarang?" Sari memeluk tumpukan buku di dadanya.

"Iya" kata Agung.

"Mungkin konsekuensi yang dirimu tidak bisa hadir pas kegiatan mos waktu itu" kata Ida mengingatkan.
Sari menatap tumpukan buku di dadanya dengan sedih. Setelah ia meminjam buku ke bagian admin, dia pergi menuju ruang osis.

***

Sari menatap tottenya yang diletakkan di atas meja di tengah ruangan. Totte itu menggelembung tidak wajar karena dipenuhi buku-buku. Seharusnya saat ini dia berada di perpustakaan, menyusun bahan makalah bersama Ida. Ketidak hadirannya saat MOS dulu harus diganti dengan bersih-bersih ruang OSIS hari ini juga.

Dengan sepenuh hati Sari berharap dia masih bisa menyusun bahan makalah itu secepatnya.

"Perlu bantuan?" Tanya sebuah suara. Sari memutar tubuh dan menemukan sosok itu. Sosok kekar dan gagah ketua OSIS, Rio.

"Tidak, terimakasih" kata Sari.

"Kalau perlu bantuan, bilang saja" katanya. Ia mendekat dan duduk di kursi tengah ruangan.

"Saya baik-baik saja" kata Sari sambil melap rak-rak di ruangan itu. Meja-meja sudah dilapnya dari tadi. Lantai sudah disapu dan dipel.

Rio menatap Sari dalam diam. Merasa takjub dengan fisik gadis itu yang sangat mungil dibanding teman-temannya yang lain. Anehnya, wajahnya juga sangat kanak-kanak sekali.

"Imut" gumam Rio.

"Apa?" Kata Sari, ia berbalik. Merasa tidak nyaman diamati seperti itu tapi juga tidak enak untuk menegur.

"Tidak" kata Rio "aku tidak mengatakan apapun" katanya.

"Oh" Sari melanjutkan aktivitasnya lagi. Ia memepercepat pekerjaannya. Berharap masih punya waktu untuk menyusun makalah.

Selesai di ruang OSIS dia pamit kembali ke kelas.

****

Baru duduk selama satu menit, bel pelajaran berikutnya berbunyi. Sari menghela nafas dalam.

"Sangat beruntung bel berbunyi saat kau sudah di sini" kata Ida.

"Ya, aku sangat beruntung" kata Sari. Ia membuka buku pelajaran berikutnya.

"Maaf aku meninggalkanmu di perpustakaan tadi" kata Sari sambil menyalin soal ke buku catatan.

"Tidak apa-apa. Aku harus terbiasa kau tinggalkan karena aktivitasmu yang banyak itu" kata Ida.

"Maafkan aku, seharusnya kita ke kantin bersama" kata Sari.

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir" kata Ida.

"Terimakasih" kata Sari sambil menjawil pipi Ida. "Kau sahabat yang sangat baik" katanya lagi. Ida tertawa.

"Apa kau sadar bahwa kau memiliki wajah yang cantik?" Kata Sari sambil mencatat.

Ida mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu. Setiap kali aku bercermin, aku hanya melihat wajahku yang seperti biasanya, tak ada yang istimewa" katanya.

"Kau itu cantik, seperti dewi" kata Sari. Ida tertawa.

"Itu pujian atau lelucon?" Tanyanya.

"Aku serius" kata Sari. Kalau aku membayangkan seorang dewi dennga wajah cantik, rambut indah terjurai, lemah lembut dengan tatapan teduh, itulah dirimu" kata Sari.

"Itu hanya imajinasimu saja" kata Ida sambil mencatat.

"Mungkin nenek moyangmu adalah putri Bali?" Tanya Sari dengan senyum.

"Bagaimana kau bisa tahu?" Tanya Ida. Menatap Sari dengan takjub.

"Jadi itu benar? Aku hanya asal tebak padahal" kata Sari menatap manik Ida dengan takjub yang sama.

"Nenek dari nenekku memang salah satu putri dari Raja Bali di zaman kuno" katanya.

"Wah, tidak heran kau memiliki kharisma seorang putri" kata Sari.

"Rayuanmu itu" kata Ida gemas. Sari tertawa.

"Apa kau sedang menginginkan sesuatu?" Tanya Ida curiga

"Tidak. Aku memujimu dengan tulus" kata Sari menyangkal.

"Kau itu...apa kau juga sadar kau itu sangat menggemaskan? Kau itu seperti bayi" kata Ida.

"Mungkin? Seandainya saja aku masih bayi, aku tidak perlu mengerjakan makalah-makalah itu" kata Sari dengan tawa. Ida tertawa lalu menjawil pipi gembil Sari.

"Hei, apa bibirmu membentuk hati saat tersenyum?" Tanya Ida.

"Kata orang sih, begitu" kata Sari. Ia melanjutkan kegiatan menulisnya.

"Heh, apa kau sadar, seseorang sering menatapmu diam-diam?" Tanya Ida.

"Siapa?" Tanya Sari, tapi ia tetap menulis, tampak tak begitu peduli.

"Aku tidak akan memberi tahumu, nanti kau malah over percaya diri" kata Ida.

"Oke" kata Sari cuek.

"Kau tidak mau tahu?" Tanya Ida.

"Aku tidak mau tahu dan tidak perlu tahu. Biarkan saja orang mau menatapku sepuas mereka asal jangan memikirkan hal yang iya iya saat menatapku" kata Sari.

Ida tertawa.

Hei Gadis BerkepangWhere stories live. Discover now