23

10 1 0
                                    

Pagi-pagi setelah selesai acara bersih-bersih cuci jemur di kosan, Sari berkunjung ke rumah Agung di akhir pekan, seperti biasanya.

Sari selalu ingat amanat ibunya bahwa dia punya hutang budi pada keluarga Agung, setidaknya dia harus bantu-bantu di rumah mereka di akhir pekan.

Jadi, di sinilah Sari sekarang. Menyapu pekarangan, mencabuti daun kering dari dedahanan, menyiram tanaman dan lain-lain. Selesai di luar rumah, dia akan bersih-bersih di dalam. Menyapu, mengepel, dan lap perabotan. Tante Ira hanya memiliki dua orang putra. Putra pertamanya mas Agus, sudah berumah tangga di Jogja. Sisa putra bungsunya Agung, jadi tante Ira kekurangan personel untuk bantu-bantu di rumah.

"Anak laki-laki itu tidak selincah anak perempuan dalam soal pekerjaan rumah tangga" kata tante Ira suatu hari saat Sari membantunya di dapur.

"Tente ingin punya anak perempuan, sebetulnya, tapi karena tante itu beresiko kalau hamil lagi, bayi tante selalu mengalami pengapuran sebelum cukup umur untuk lahir, jadi sangat beresiko. Makanya tante cuma punya dua" katanya, menjelaskan kenapa tidak hamil lagi setelah punya Agung.

"Ada kamu di sini, tante senang. Setidaknya perasaan ingin punya anak perempuan, sedikit terobati" begitu jelasnya.

Sari senang karena tante Ira dan pak Haris sangat baik padanya. Meski pak Haris tidak banyak bicara, tapi sekali bicara pada Sari, pak Haris selalu seperti seorang ayah yang menasehati anaknya dengan lembut. Sari bahagia berada di tengah-tengah keluarga ini. Perasaan rindunya pada keluarga, terobati.

Kecuali saat ada anak yang satu itu di sekitarnya. Agung, si tiang. Saat sari bekerja dia akan berada di sekitarnya, mengoceh tanpa henti tentang segala hal. Membuat kepala Sari pusing.

"Kenapa kau menyapu disitu lebih dulu?"

"Ri, di sini belum di sapu!"

"Ri, apa yang kau cabuti di situ?"

"Oh, jadi itu harus dibersihkan juga?"

"Kenapa bagian itu harus dipel juga?"

"Ri, kemarin bla..bla..bla...bla..."

"Ri, kamu mendengarkan tidak?" Tanyanya.

"Ya.." jawab Sari sambil menyikat tutup wadah garam.

"Apa seisi rumah ini harus dicuci?" Tanyanya lagi. Sari mendesahkan nafas. Sepanjang pagi ini Agung terus bicara, membuat kepalanya pusing.

"Ya. Di sekitar kita selalu ada debu. Semakin lama setiap hari debu yang menempel bertumpuk, jadi seminggu sekali harus dibersihkan" jelas Sari.

"Ah..aman kalau begitu. Aku akan terhindar dari alergi debu" kata Agung sambil merebahkan tubuhnya di sofa samping taman, di pojok dapur.

"Oya, sofa ini berarti harus dibersihkan juga?" Tanyanya lagi.

"Hmmm" Sari mengangguk setuju.

"Baiklah, rumah ini aman...jadi rumah terbersih di lingkungan ini" katanya sambil tersenyum memejamkan mata.

"Ri, kalau dipikir-pikir, sejak tadi malam, bahuku tidak sakit lagi" Agung meraba-raba bahunya sambil matanya menerawang menatap udara kosong.

"Hmm.." Sari membilas semua perabot yang sudah dicucinya.

"Kenapa bisa begitu ya? Kenapa selalu sembuh setelah kau sentuh? Apa kau punya kekuatan super?" Tanyanya sambil terus memeriksa bahunya. Kini Sari melap perabot basah itu dan mengembalikannya ke tempat rak-rak bumbu.

"Jawab" kata Agung.

"Tidak" jawab Sari. "Aku tidak punya kekuatan super" katanya. Lalu ia membuka kulkas dan menutupnya lagi. Lalu berjalan ke depan mencari Ira. Agung mengekor di belakang.

Hei Gadis BerkepangWhere stories live. Discover now