"Tante, mau masak apa?" Tanya Sari.

"Nanti saja. Kamu makan aja dulu. Ambil sendiri di lemari, ya.." kata Ira yang sedang melap daun tanaman hias. Daun itu mirip sekali dengan daun plastik hiasan. Tebal, berwana hijau gelap, dan mengkilat. Ira akan melap daun itu satu persatu di waktu luang. Hasilnya setelah dilap, daun itu akan tampak sama dengan daun plastik hiasan. Lucu kalau kata Sari.

Sari kembali ke dapur, Agung masih mengekor di belakangnya.
"Kau belum makan?" Tanya Agung.

"Hmm" Sari mengambil piring dan sendok.

"Kalau aku bekerja sebanyak itu belum makan, pasti sudah lemas seperti kertas kena air" kata Agung. Duduk di kursi lain di seberang Sari yang mulai menyuap. Mengunyah dalam diam.

Agung menatapnya tanpa merasa malu sambil bertopang dagu. "Pipimu lucu kalau sedang mengunyah" kata Agung sambil menahan senyum. "Kau tahu sinchan?" Tanya Agung. Sari menggeleng, tetap mengunyah, matanya menatap piring di depannya.

"Kartun jepang" kata Agung. "Pipinya sama dengan pipimu kalau sedang mengunyah" Agung terpingkal-pingkal. Sari tersenyum

"Apa kau tidak punya kegiatan lain?" Tanya Sari.

"Harusnya aku berlatih musik dengan teman-teman. Tapi mereka belum mengabari dari tadi" Agung menatap layar ponselnya.

"Apa kau sudah punya persiapan untuk UAS?" Tanya Sari lagi.

"Sudah" jawab Agung. "Kau sendiri?" Tanyanya dengan mata membulat. Sari tak menjawab. Belum, dia merasa belum punya persiapan, dan karenanya dia sedang merasa pikirannya penuh. Merasa stuck tak bisa diapa-apakan. Apa ada cara mengeluarkan isi pikiran, lalu dipilah mana yang berguna dan mana yang sampah, lalu kita masukkan lagi yang berguna dan membuang yang sampah? Kalau ada caranya, Sari ingin tahu.

"Lain kali kalau bahuku sakit lagi, aku akan memintamu menyentuhnya" kata Agung senyum-senyum. Sari bangun lalu mencuci piring bekas makannya. Gadis hantu itu jelas punya permintaan pada Agung, makanya dia menempel terus.

"Apa kau pernah mendengar suara-suara?" Tanya Sari sambil meletakkan piring bersih ke rak piring.

Suara-suara seperti apa?" Tanya Agung, pandangannya mengikuti gerakan Sari.

"Suara wanita misalnya? Meminta sesuatu di dalam tidur?"

"Tidak ada" jawab Agung.

"Cuma memang ada beberapa kali kejadian aneh" kata Agung. "Terkadang aku ingin sekali memainkan sebuah lagu. Dan lagunya selalu sama. Aku tidak pernah memainkannya"

"Coba kau mainkan, aku ingin dengar" kata Sari.

"Baiklah" Agung tampak bersemangat. Ia pergi ke kamarnya. Sari pergi ke taman belakang, menunggu di sana.

Di taman itu ada cerukan tanah seluas 4 x 4 meter yang sudah disemen. Di atas lantai semen itu dipasang rumput sintetis. Di atas rumput sintetis itu ada bantal-bantal besar empuk yang terkadang bisa dijadikan sofa atau tempat tidur. Di tengah rumput sintetis itu ada lingkaran terbuat dari semen juga, untuk membuat api unggun kecil. Semua cerukan seluas 4 x 4 meter itu dinaungi atap seperti kanopi. Sekeliling rumput sintetis itu tidak ditutupi apapun, penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan kau bisa melihat langit dengan bebas.

"Kau sedang apa di sini?" Tanya Agung.

"Menunggumu" kata Sari.

"Kita main musiknya di sana" Agung menunjuk ruangan lain.

"Oh.." Sari bangkit mengikuti Agung.

"Siap?" Tanya Agung. Dia duduk di depan piano. Sari berdiri di ambang pintu, menyandarkan punggungnya ke tembok. Sari mengangguk. Gadis hantu itu duduk di dekat Agung. Siap mendengarkan lagu yang ingin ia dengar.

Perlahan jemari Agung menekan satu demi satu tuts piano. Mengalun nada-nada indah di ruangan itu. Sari tahu lagu ini. Ini salah satu lagu Mocca.

Setelah 2 ketukan nada tinggi, Sari membuka mulutnya. Dia hafal lirik lagu ini.

Hanya satu pintaku...
Tuk memandang langit biru..

Agung menatap Sari dengan mata membulat, kaget karena Sari tahu lagu ini. Dia menatap penuh tanya. Sari terus menyanyikan liriknya. Menganggukkan kepala, menyuruh Agung terus memainkan musik.

Hanya satu pintaku...
Tuk bercanda dan tertawa...
Di pangkuan seorang ayah...

Gadis hantu itu tersenyum menatap Sari dengan deraian air mata. Wajah pucatnya tampak sedih, mungkin dia mati dibunuh sebelum bertemu kedua orang tuanya. Mungkin dia merindukan mereka. Tanpa sadar, setetes bening mengalir di pipi Sari untuk si gadis hantu. Si gadis hantu tersenyum pada Sari, lalu menatap Agung yang tak menyadari kehadirannya, berterimakasih.

Hanya satu pintaku..
Tuk memandang langit biru..
Dalam dekap ayah dan ibu...

Sari dan Agung masih memainkan lagu itu saat di gadis hantu melambaikan tangan pada Sari dan mengecup pipi Agung. Ia menangis bahagia. Ia akan pergi. Sari melambai samar padanya, lalu gadis itu hilang.

Saat mereka duduk di taman, Agung bertanya.

"Kenapa kau menangis saat kita bermain musik tadi? Apa kau ingin pulang?"

"Ada seseorang yang merindukan kedua orang tuanya" jawab Sari sambil membaca buku.

"Oh..." Agung mengira seseorang itu adalah Sari. Memang, Sari juga merindukan kedua orang tuanya, tapi air mata itu untuk si gadis hantu. Merindukan kedua orang tua yang takan pernah bisa kau jumpai lagi selamanya. Yang tidak akan bisa kau peluk kau cium lagi, selamanya terkunci dalam alam lain, alam asing tanpa cinta.

Hei Gadis BerkepangWhere stories live. Discover now