6) Masih sama, menyakitkan

133 5 0
                                    

Hana dan Dafa menatap kedua gundukan tanah di hadapan mereka. Para warga sudah pulang ke rumah masing-masing, hanya tinggal mereka. Sementara teman, hana tidak punya. Hanya Rain yang datang, itupun Hana menyuruhnya cepat kembali ke sekolah.

Dafa menoleh kepadanya.

"Hana, kamu harus belajar yang rajin dan meneruskan perusahaan ayah. Ayah akan membawa pembantu kerumah untuk menemani dan membantu kamu. Kamu tidak boleh bercita-cita yang lain. Oh iya, ayah akan tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun untuk mengembangkan perusahaan ayah yang di luar. Tapi tenang saja, sekolahmu, uang jajanmu, dan semua hal yang kamu butuhkan akan ayah berikan. Ayah akan mengirim uang untukmu."

Hal ini terdengar seperti ayahnya sedang memasangkan satu persatu jeruji besi kepadanya.

"Jangan nakal di sekolah. Kamu harus berterima kasih pada ayah.  Oke?"

Hana mengangguk, pasrah. Setidaknya sang ayah tidak mengusirnya.

Tepatnya saat malam harinya, sang ayah berangkat ke luar negeri. Hana masih di dalam kamar ketika sang ayah keluar dari rumah. Tanpa pamit, dan tanpa peduli akan perasaannya. Hana baru menyadari itu ketika tiba-tiba pintu rumahnya di ketuk dan datanglah Bik Num, pembantu barunya yang akan tinggal di sini bersamanya.

Sepi, akan menemaninya sepanjang hidupnya. Mulai saat ini.

Di kamar, Hana hanya termenung. Dia tidak melakukan apapun. Masih hujan di luar sana, jadi tidak terlalu sepi. Tiba-tiba handphonenya bergetar, satu pesan WhattsApp.

Ayah:
Hana, besok kamu harus sekolah. Ayah akan minta kepada gurumu untuk memindahkanmu ke jurusan Ips.

Hana menghela nafas panjang. Masih pantaskah dia menuntut cita-cita? Masih pantaskan dia menuntut kebahagiaan pada sang ayah? Masih pantaskah?

"Tidak, Hana. Dia bukan ayah kandungmu. Jadi bersyukurlah dia memberikanmu semua ini bahkan masa depan yang cerah," gumam Hana kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba handphonenya bergetar, lagi. Lagi-lagi pesan WhattsApp.

Rain:
lo baik-baik aja kan?

Hana mengulum senyumnya dan mengetikkan satu kata.

Hana:
Ya

Tak lama kemudian, Rain menelpon. Hana kebingungan sendiri harus apa. Haruskah dia mengangkat telpon itu.

"Angkat aja kali ya," gumamnya.

"Halo?" ucap orang di seberang sana.

"Hm"

"Eh gue baru sadar loh. Ternyata dari kemaren lo nggak sedingin, sejutek, dan sesinis biasanya. Tapi gue kecewa, tadi lo bales pesan gue singkat banget. Sekarang lo juga sama singkatnya kayak pesan lo tuh"

"Oh, gitu ya"

"Huh.. Tuh kan! Eh iya. Lo baik-baik aja kan di sana? Lo sendirian di rumah? Perlu gue temenin?"

Hana ingin meng-iyakan. Tapi yang keluar dari mulutnya justru, "Gue baik. Ada pembantu di rumah, jadi nggak perlu"

"Sumpah. Kalo lo sejutek ini gue jadi khawatir. Makanya jangan jutek gitu dong jawabnya. Kalo lo jawab jutek lagi, gue otw rumah loh"

Hana tersenyum miring, "Terserah.."

"Oke, gue otw"

Apa Itu Cinta? (Completed)Where stories live. Discover now