Part. 4 - Keputusan

207 38 5
                                    

     Malam itu Jennie menginap di tempat Yerin, begitu pula Seulgi. Mereka berbagi tempat di dalam kamar Yerin yang memang cukup luas, namun sepanjang malam Jennie tidak mengatakan apapun hingga akhirnya tertidur. Hal itu membuat kedua temannya mengkhawatirkan keadaannya.

     Keesokan harinya, seperti yang Jennie pinta sebelumnya. Mereka bertiga membereskan kekacauan yang terjadi di kediaman Jennie. Tidak terlalu berantakan, tetapi cukup untuk membenarkan prasangka bahwa itu adalah sebuah hasil dari keusilan seseorang. Tidak banyak kalimat yang terucap, mereka hanya fokus untuk segera menyelesaikan pekerjaan itu. Ibu Kos yang berniat menuju warung melihat mereka, tetapi tidak menegur. Dia hanya tersenyum melihat mereka yang kelihatannya tampak rukun membantu satu sama lain, kemudian melanjutkan perjalanannya.

     Cukup lama ketiga gadis itu berbenah, akhirnya semua sudah terlihat baik-baik saja. Tempat itu kembali terlihat nyaman untuk ditinggali. Namun sayang Jennie sudah memutuskan untuk berhenti mendiaminya, dia tidak bisa terus menerus tinggal di tempat yang telah memberikannya kenangan buruk. Kini di hadapannya sudah ada dua buah tas besar yang berisikan pakaiannya, serta sebuah tas di punggungnya yang berisi perlengkapan kuliah. Dia telah siap untuk meninggalkan teman-temannya, beserta semua kenangan buruk yang telah dilaluinya di tempat itu. Kedua temannya tidak banyak bicara, namun wajah mereka mengekspresikan kesedihan.

     "Yerin, Seulgi. Terima kasih udah mau bantuin gue beres-beres," diraihnya tangan kedua temannya itu, masing-masing satu di tangan kiri dan kanannya. "Gue tahu ini agak sedih, tapi gue nggak mau sedih-sedihan. Karena gue juga tahu kita pasti ketemu lagi lah nanti, tenang aja."

     "Nggak apa-apa, Jen. Kita juga nggak sedih kok," Yerin menoleh sebentar ke arah Seulgi. Mereka berdua tersenyum tanda baik-baik saja. "Lagian kan ini untuk keselamatan elu juga, gue tahu di dalam hati elu pasti masih khawatir," dia lalu memegang pundak Jennie dan menepuknya halus.

     "Pokoknya semoga perjalanan elu nyaman dan sampai dengan aman juga," tambah Seulgi.

     "Iya. Sekali lagi terima kasih, " Jennie melepaskan genggaman tangannya. "Oh iya. Barang-barang yang lain nanti biar orang tua gue yang ngurus, mungkin besok atau lusa mereka minta tolong orang buat ngambil semuanya."

     "Ehh ... tapi, ngomong-ngomong elu pulangnya gimana?" tanya Yerin.

     "Gue naik angkutan kayak biasanya aja. Pagi-pagi begini kalo minta jemput pasti orang tua gue nggak bisa. Gue juga belum cerita apa-apa ke mereka, sekalian di rumah aja nanti," Jennie mengangkat kedua tas besar miliknya, "yaudah kalo gitu. Gue langsung berangkat aja ya." Jennie lalu berjalan pergi meninggalkan teman-temannya. Kedua temannya itu tidak mengalihkan pandangan mereka kepada Jennie sambil terus melambaikan kedua tangan masing-masing.

     Tidak lama kemudian Ibu Kos muncul dengan membawa dua kantong plastik penuh bahan-bahan makanan, ia baru saja pulang dari warung.

     "Yerin, Seulgi! Itu siapa? Jennie, ya?" tanya wanita dewasa bernama Sowon yang lebih akrab dipanggil Ibu Kos itu. Penglihatannya samar-samar, di kejauhan ia melihat seorang gadis yang menggendong sebuah tas di punggungnya ditambah dua buah tas besar yang dijinjing.

     Yerin dan Seulgi terkejut menyadari kehadiran Ibu Kos yang tiba-tiba sudah ada di depan mereka. Tangan mereka yang asalnya melambai, kini telah mencengkeram erat satu sama lain.
"Oh Ibu! Ngagetin aja," ucap Seulgi spontan. Mereka melepaskan tangan masing-masing dan kembali ke posisi yang nyaman.

     Ibu Kos tertawa melihat reaksi dua gadis muda yang tinggal di kosan miliknya itu, "Kaget ya? Hahaha."

     "Yah Ibu malah ketawa. Kita kaget beneran loh, Bu," sahut Seulgi sedikit kesal. Dia merapikan lengan bajunya yang sedikit berantakan bekas cengkeraman Yerin.

     "Lagian Ibu dari mana sih? Tiba-tiba udah muncul di depan aja," tanya Yerin. Dia mengamati barang yang dibawa Ibu Kos.

     "Ini, nggak lihat?" Ibu Kos mengangkat kantong plastik di tangannya. "Habis dari warung, belanja."

     Seperti sudah kebiasaan, Yerin dan Seulgi secara otomatis mengambil masing-masing satu kantong plastik itu, mereka berniat membawakannya ke rumah Ibu Kos.

     "Ngomong-ngomong, Ibu tadi nanya apa? tadi Ibu ngomong sesuatu, kan ya?" tanya Yerin.

     Ibu Kos menunjuk ke arah dimana sebelumnya dia melihat seorang gadis yang dicurigai sebagai Jennie, "Itu, tadi ... ada yang jalan bawa tas besar-besar gitu. Itu siapa? Jennie bukan?"

     Seulgi menatap wajah Yerin, mereka saling bertukar kode yang seakan mengatakan "ceritain nggak?". Ibu Kos yang memperhatikan gerak-gerik di wajah mereka seketika langsung menegur.

     "Eh ... eh. Kok jadi tuker-tukeran kode gitu?"

     "Udah lah ceritain aja," kata Yerin. Merasa sudah terlanjur ketahuan, mereka memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi kepada Jennie.

     "Iya, Bu. Itu tadi Jennie, dia baru aja pulang ke rumahnya. Yang dia bawa di dalam tas itu pakaian sama perlengkapan kuliahnya," jelas Seulgi.

     "Pulang ke rumah? Tunggu, maksudnya ...," belum lagi selesai bicara, Yerin memotong kalimat yang akan diucapkan Ibu Kos.

     "Pindah. Jennie pindah, Bu."

     Tampak raut kebingungan di wajah Ibu Kos, "Pindah, kenapa? Kok nggak bilang ke Ibu dulu?"

     "Kejadiannya mendadak juga, Bu. Baru aja tadi malam dia bilang ke kita kalo mau pulang ke rumahnya. Kita juga kaget, tapi ya mau gimana. Akhirnya tadi kita juga yang bantuin dia beres-beres," kata Seulgi. Nada bicaranya terdengar tidak bersemangat.

     Ibu Kos masih tampak kebingungan, rupanya penjelasan itu belum cukup untuknya bisa mengerti situasi ini, "Nggak, bukan. Tapi kenapa itu loh, alasannya apa?"

     Yerin tiba-tiba mendekat kepada Ibu Kos, "Sekarang begini deh, Bu. Kita akan ceritain semuanya, tapi jangan di sini. Kita ke rumah Ibu aja gimana?" saran Yerin.

     Akhirnya mereka bertiga pergi ke rumah Ibu Kos. Ditemani secangkir teh hangat, Yerin dan Seulgi saling bergantian menjelaskan semua yang terjadi kepada Jennie, agar semuanya jelas tanpa ada yang terlewatkan satu pun. Mulai dari mengenai Silent Reader, kejadian-kejadian buruk beruntun yang dialami Jennie, hingga bagaimana sampai akhirnya Jennie mengambil keputusan untuk meninggalkan kos-kosan dan pulang ke rumah. Ibu Kos juga terlihat mendengarkan dengan seksama, dia tidak ingin melepaskan satu pun informasi yang diterima pada pagi hari itu.

     Yerin menyeruput habis sisa teh di cangkirnya. "Jadi begitu kira-kira apa yang sudah diceritain Jennie ke kita, Bu. Mungkin ada yang kelupaan, tapi rasanya semua sudah kita ceritain ke Ibu." Dia melihat jam di dinding rumah Ibu Kos lalu berdiri. Seulgi yang sedang meminum tehnya seketika langsung menaruh cangkirnya dan ikut berdiri.

     "Kalian udah mau pulang?"

     "Iya, Bu. Kita ada kuliah satu setengah jam lagi," jawab Yerin.

     "Kita pulang dulu ya, Bu," kata Seulgi. Ibu Kos hanya mengangguk. Mereka mencium tangan Ibu Kos kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Senyum Ibu Kos mengiringi kepergian mereka.

     Kini sudah hampir empat bulan setelah kepindahan Jennie, belum ada lagi yang menempati ruangan bekas tempat tinggalnya. Wajar saja, rumor aneh tentang kos-kosan khusus perempuan itu telah menyebar luas. Terlebih di kalangan para mahasiswi, meskipun kos-kosan itu termasuk yang paling bagus dan dengan harga terjangkau pula, namun mereka enggan untuk tinggal di sana.

     Tapi anehnya Ibu Kos tampak baik-baik saja, dia seperti tidak khawatir dengan semua rumor aneh itu, meskipun bisa dibilang dia kehilangan salah satu sumber pemasukkan bulanannya. Memang uang bukanlah prioritas utamanya sejak membangun kos-kosan itu, dia hanya ingin membuat suasana di sekitar rumahnya menjadi sedikit lebih ramai. Untuk itu dia tetap rutin membersihkan ruangan bekas Jennie agar tidak terlalu berdebu, sambil juga tetap berharap kelak akan ada yang kembali menempatinya.

Silent Reader : The Improper JennieWhere stories live. Discover now