Silent Reader : The Improper Jennie

Part. 3 - Masalah Serius

     “Yeriiin!” teriak Jennie sambil menggedor-gedor pintu kosan tempat tinggal temannya itu.

     Setelah beberapa kali memanggil, seseorang akhirnya membuka pintu, “Kenapa Jen?” Tanya Seulgi yang ternyata sedang ada di tempat Yerin.

     “Gi! Itu ....” Jennie menunjuk ke arah lantai dua.

     “Kenapa sih Jen? Di tempat elu kenapa?”

     “Itu, Gi!” kepanikan tampak jelas di wajah Jennie.

     “Udah, udah. Mending kita masuk dulu deh, Yerin ada kok di dalam,” Seulgi menggandeng tangan Jennie dan membawanya masuk.

     Di dalam, Yerin sedang menonton TV sambil menikmati makanan ringan yang mereka beli sebelumnya, lalu ia merasakan kedatangan Seulgi yang masuk bersama Jennie.

     “Kenapa Jen?” Tanya Yerin dalam posisi membelakangi Jennie dan Seulgi, “gue tahu itu pasti elu, biasanya kan elu teriak sambil gedor-gedor kalo datang kesini.” Yerin lalu membalikkan badannya.

     “Rin,” kata Seulgi.

     Yerin yang baru saja melihat wajah Jennie langsung menyadari ada yang aneh dengannya. “Jennie! Elu kenapa? Sini, sini,” Yerin menyingkirkan beberapa bungkus makanan ringan yang berserakan untuk membuat ruang sebagai tempat duduk Jennie. Jennie pun duduk namun kemudian ia hanya terdiam dengan tatapan mata yang tampak kosong, jelas sekali jika ia sedang panik. “Gi, kenapa ini. Elu tahu?”

     “Nggak, tadi di depan dia cuman nunjuk ke arah lantai dua,” jawab Seulgi.

     “Lantai dua? Kosannya dia dong.” Yerin lalu berdiri, berniat untuk memeriksa ke kediaman Jennie. Namun Jennie langsung mencegahnya.

     “Tunggu! Tunggu bentar, biar gue cerita dulu.” Yerin dan Seulgi kemudian duduk di hadapan Jennie. “Gue baru aja pulang dari kampus, sewaktu gue buka pintu kosan ...,” kedua mata Yerin dan Seulgi seketika berhenti berkedip, “gue ngeliat di dalam kosan berantakan.”

     “Hah! Serius?!” tanya Yerin dan Seulgi bersamaan.

     “Sekarang dengerin baik-baik. Sepertinya apa yang kita omongin kemaren bener,” ucap Jennie dengan nada yang serius.

     “Apa, yang mana?” tanya Seulgi bingung.

     “Oh, stalker?” Yerin mengacungkan jari telunjuknya kepada Jennie.

     “Iya, jadi ...,”

     “Jadi stalker itu yang ngacak-ngacak kosan lu?” tanya Seulgi memutus kalimat yang ingin diucapkan Jennie.

     “Kemungkinan besar gitu. Tapi ada satu hal yang gue baru sadar waktu di luar tadi.”

     “Apa? Elu tahu orangnya siapa?” tanya Yerin.

     “Gue nggak sepenuhnya tahu, tapi kayaknya gue tahu orang itu siapa?” jawab Jennie sedikit bingung menjelaskan maksud pikirannya.

     “Gimana sih maksudnya, Jen?” tanya Yerin semakin kebingungan.

     “Elu nggak tahu, tapi tahu dia siapa?” tambah Seulgi.

     “Udahlah. Intinya gini,“ Jennie mengeluarkan laptop dari tasnya, lalu membuka halaman episode terbaru yang ia unggah di blog pribadinya. Kemudian ia memeriksa kolom komentar. ”Tuh, kan!” Jennie kembali mendapati hal yang juga terjadi di episode-episode yang ia tulis sebelumnya.

     “Kenapa?” ujar Yerin.

     “Apa sih?” tambah Seulgi. Mereka berdua kebingungan memahami maksud reaksi Jennie.

     “Begini,” Jennie menatap serius teman-temannya. “Pertama, gue punya blog pribadi di internet yang gue isi dengan cerita bersambung yang di-update sekitar satu minggu sampai satu bulan sekali. Nah, kejadian-kejadian aneh ini ... setelah gue ingat-ingat, selalu terjadi di hari ketika gue update cerita yang gue tulis di blog itu.”

     “Seriusan lu?” ucap Seulgi.

     “Terus? Elu tahu apa hubungannya blog sama kejadian-kejadian aneh itu?” kata Yerin meminta penjelasan.

     “Liat!” Jennie mendekatkan laptopnya kepada kedua temannya itu, “liat jumlah pengunjungnya, ada berapa?” tanya Jennie.

     Yerin dan Seulgi fokus menatap layar di hadapannya, “100,” jawab mereka.

     “Terus liat lagi ini, ada berapa jumlah komentar yang masuk?” tanya Jennie lagi.

     “99,” jawab kedua temannya yang masih kebingungan itu.

     “Kalian sadar nggak? Dari 100 orang pengunjung, ada satu orang yang nggak menulis komentar apa-apa,” jelas Jennie. ”Itulah yang biasa para blogger sebut sebagai Silent Reader.”

     “Apa? Silent Reader?” ujar Seulgi yang merasa asing dengan istilah itu.

     Jennie menambah penjelasannya, “Iya. Itu adalah sebuah istilah yang dimaksudkan kepada mereka, orang-orang yang biasa membaca sebuah posting-an atau tulisan di internet, tapi setelah selesai membaca, mereka hanya pergi tanpa meninggalkan komentar untuk tulisan itu.” Kedua temannya itu mengangguk-angguk setelah mendengar penjelasan Jennie.

     “Jadi, maksud lu ... elu curiga kalo orang itu adalah yang menyebabkan semua kejadian-kejadian aneh itu?” tanya Yerin.

     “Ya kalo bukan dia, siapa lagi? Nggak ada lagi yang sementara ini bisa dijadiin tersangka. Kalian juga sependapat kalo ini bukan cuman sekedar kebetulan, kan?” tanya Jennie kembali, “kalo sekali dua kali mungkin bisa dibilang kebetulan, tapi ini udah empat kali, temen-temen!” Jennie lalu menutup laptopnya.

     Yerin mencoba mencerna semua penjelasan Jennie. Ia memejamkan mata dan meletakkan jari telunjuk di dahinya.

     Sedangkan Seulgi terus melontarkan pertanyaan, “Empat kali? Kejadiannya apa aja? Terus itu kapan aja waktunya? Elu masih ingat semuanya?”

     Tanpa pikir panjang Jennie juga terus menjawabnya, “Hari ini, kosan gue berantakan. Ini yang paling parah sih. Terus kemarin waktu episode ke-5, ada yang ngetok-ngetok pintu pas malam. Inget nggak? Yang waktu itu pernah kita bahas.

     “Iya, iya. Inget,” sahut Yerin seraya mengangguk.

     “Sebelumnya lagi di episode ke-4, pot bunga jatuh hampir kena kepala. Ini juga kita bahas waktu itu, Tzuyu bilang kemungkinan itu stalker. Sekarang gue sadar stalker itu selama ini memantau blog gue.”

     Seulgi menggelengkan kepala, “Ini sih sudah kelewatan, Jen!”

     “Terus ada satu lagi yang belum gue ceritain.”

     “Ada lagi?”

     “Di hari gue upload episode ke-3. Waktu pulang kuliah, gue ngeliat kalo jemuran gue beberapa ada yang kotor. Waktu itu gue mikirnya paling kena debu lah biasa, tapi kalo dipikir-pikir lagi kenapa cuman sebagian aja yang kotor, harusnya semua rata kena debu.”

     “Ini sih bukan iseng biasa lagi. Apa kita lapor polisi aja?” saran Seulgi.

     Yerin menyadarkan dirinya yang sempat melamun, “Gue nggak ngerti lagi sih, Jen. Sekarang terserah elu mau gimana, kalo mau lapor polisi lebih cepat lebih baik. Karena kita nggak tahu dalam waktu dekat akan ada apa lagi. Bisa aja kedepannya akan ada hal yang lebih berbahaya lagi.”

     Namun Jennie berpikiran lain, “Nggak. Kita sekarang udah tahu rumusnya, dia hanya akan bertindak kalo gue update cerita di blog itu. Gue nggak mau lapor polisi, malam ini gue nginep di sini dulu. Besok kalian temenin gue beres-beres barang ya, gue mau pulang ke rumah dulu.”

     Yerin terkejut, “Elu serius?”
Seulgi hanya diam menunggu jawaban Jennie.

     “Pokoknya gue mau pulang dulu, biar semuanya tenang. Habis itu mungkin gue akan mikir untuk nyari kos-kosan lagi. Dan yang pasti, gue nggak akan lanjutin blog itu!” tegas Jennie. Keputusannya sudah bulat. Kedua temannya ingin menentang, namun kepercayaan diri mereka terbenam seperti matahari pada saat itu, mereka lebih memilih untuk menghormati keputusan Jennie.