"Yaudah, aku masuk dulu ya, mau pamit sama ayah dan ibu kamu" Ujar Rafka sembari turun dari motornya. Tapi pergerakannya langsung ditahan oleh Laila.

"Nggak apa-apa, nanti biar aku aja yang pamitin"

Rafka hanya membalasnya tersenyum, lantas mengusap kepala Laila singkat dan pamit.

Tanpa mereka sadari, sedari dari ada sepasang mata yang memperhatikan mereka secara intens.

"Ayah!! Ibu!!! Laila pulang!!!" Kebiasaan Laila tak pernah hilang. Selalu berteriak saat ia pulang.

"Yuhu!!!" Lanjut Laila lagi saat tak mendapat jawaban seperti biasanya.

Laila berhenti diambang ruang tamu, tampak berpikir kemungkinan kenapa tak ada yang menyahut teriakannya. Apa ayahnya belum pulang? Tapikan ini sudah jam setengah 6. Biasanya juga ayahnya pulang jam 4. Tapi kalau ibunya kan tak mungkin tak menyahut, wong ibunya itu ibu rumah tangga, to. Selalu dirumah 24 jam. Keluarnya juga paling nggak jauh-jauh sama ayahnya. Apa mereka pergi berdua? Tapi kenapa pintu nggak di kunci?

"Ibu!!! Lail--" Teriakan Laila terhenti, saat diruang tengah tak sengaja ujung matanya menangkap keberadaan seseorang.

Pikiran Laila sudah berkelana kemana-mana, seperti bayangan Tina yang kini memandang putrinya dengan kesal, isyarat matanya seakan mengatakan 'Jangan malu-maluin!'. Sementara Haidar, menatap putrinya juga dengan tatapan mengintimitasi, tak jauh-jauh dengan istrinya, matanya pun memperlihatkan sorot peringatan.

Kalau benar begitu, Laila tak perlu khawatir karena mendapat tatapan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya, biasanya ia hanya tinggal nyengir dan orangtuanya akan tertawa.

Tapi, hari ini berbeda, tak ada lagi tatapan seperti itu. Orangtuanya kompak menunduk kebawah, dengan seseorang yang Laila kenal duduk didepan kedua orangtuanya.

"Ka-Kak Adnan?" Sapa Laila ragu-ragu.

Wajah kak Adnan masih datar seperti biasanya, tapi entah mengapa kali ini sedikit ada yang berbeda dari tatapannya, yang entah itu apa.

Adnan hanya mengangguk menjawab Laila, lalu beralih kembali pada Haidar dan Tina, "Saya tau apa yang harus ibu dan bapak lakukan untuk membalas jasa saya, nikahi saya dengan Laila"

Deg.

Apa-apaan ini?

Nikah?

Dirinya?

#######

Sudah dua jam sejak pernyataan Adnan yang tiba-tiba. Laki-laki itu juga belum beranjak dari rumah keluarga Haidar. Pun penyebabnya adalah Laila yang masih mengurung diri di kamar.

Laila tidak sedih, sama sekali tidak. Bahkan menangis pun tidak berlaku bagi Laila. Tapi dia marah, kesal, dan kecewa. Semuanya campur aduk seperti gado-gado. Membuat Laila ingin sekali rasanya menghancurkan seisi rumah, tapi apa boleh buat, saat yang bisa di lakukannya hanya berdiam diri didalam kamar sementara orang-orang yang diluar sedari tadi tak berhenti mengetuk pintu kamarnya.

Laila muak, mengambil headphone nya dan memasang benda itu kasar. Membuka ponsel dan langsung memainkan lagu Fire Truck - NCT 127 yang kata Nina sangat berisik. Tapi Laila tidak peduli, ia menekan tombol volume dan menaikkan hingga full, membuat indra pendengarannya penuh hingga tak mampu mendengar apa-apa.

Pikiran Laila senantiasa melayang kemana-mana. Bagaimana mungkin ia akan menikah? Bagaimana mungkin orangtuanya tega menjualnya? Apa yang ada dipikiran Adnan sampai mau menikahi anak kecil sepertinya? Apa Adnan sudah gila? Lalu bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan cita-citanya menjadi seorang designer? Bagaimana dengan les-les yang sudah diambilnya? Bagaimana dengan teman-temannya? Dan yang paling mengganggu pikirannya, adalah Rafka. Bagaimana caranya ia harus menjelaskan situasi ini pada Rafka? Apa harus ia menelfon Rafka sekarang dan mengajaknya kabur? Bagaimana mungkin ia meninggalkan Rafka dan menikah dengan laki-laki lain?

LAILAWhere stories live. Discover now