Chapter 3

1.1K 48 0
                                    

"Eh sorry, lo liat Ina gak?" Tanya Bevan pada salah satu murid yang sedang duduk didepan kelas Ina.

"Gak."

"Kalo lo tau gak?" Tanya Bevan pada murid yang satunya. Dan jawabannya pun sama.

"Aduh In, lo kemana si!" Gumam Bevan.

Bevan bingung harus mencari Ina kemana. Tapi dia belum juga menemukannya.

"Van, lo kenapa si daritadi kaya orang bingung gitu."

"Gue nyari Ina. Lo tau gak dia kemana?"

"Oh Ina. Dia kan daritadi di perpus." Tanpa mengatakan apapun lagi, Bevan segera melangkahkan kakinya menuju perpustakaan yang ada di lantai dua.

Ternyata benar Ina ada disana. Bevan pun langsung menghampiri Ina yang sedang asik membaca sebuah novel remaja.

"Ternyata lo disini Na. Gue cari daritadi juga." Omel Bevan seraya menarik kursi kayu yang ada dihadapan Ina. Ina mengernyit.

"Lo nyari gue? Tumben banget." Ucap Ina sinis tanpa menatap Bevan. Bevan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Gue mau nanya sesuatu sama lo." Ucap Bevan serius.

"Shaloom?" Tanya Ina menebak. Bevan mengangguk.

"Dia gak masuk." Ucap Ina yang masih asik dengan bukunya.

"Iya gue tau. Tapi tadi pagi gue kerumahnya. Dan orang rumahnya bilang dia udah berangkat. Gue kira dia masuk." Ina mengernyit. Tapi sedetik kemudian wajahnya kembali datar.

"Mungkin dia ke dokter." Jawab Ina sekenanya.

"Gak mungkin. Gue tau siapa Shaloom. Dia paling anti banget sama yang namanya dokter. Lo tau gak dia kemana" Ina menghela napas panjang kemudian menutup novel yang sedang dia baca. Mata bulat dengan iris berwarna hitam legam itu kini menatap Bevan.

"Lo kenapa si masi ganggu dia?" Bevan diam.

"Lo belum puas buat Shaloom sakit? Atau lo mau mainin Shaloom lagi?"

"...."

"Mending lo hibur Elsa. Akhir-akhir ini dia murung." Ucapnya seraa membuka kembali Novel yamg tengah dibacanya tadi. Walaupun hubungan persahabatannya dengan Elsa sudah merenggang. Tapi dia tetap peduli dengan sahabatnya itu.
Bevan tertegun. Akhir-akhir ini dia sibuk mengejar Shaloom dan sedikit melupakan Elsa.

Ina menghela napas panjang kemudian beranjak keluar dari perpustakaan meninggalkan Bevan yang masih tertegun sambil menatap punggung Ina yang mulai menjauh. Ina berhenti diambang pintu, kemudian menoleh menatap Bevan yang tengah menatapnya.
"Gue harap lo bisa nyelesain masalah ini tanpa ada satu orang pun yang tersakiti."

Baru beberapa langkah Ina keluar dari perpustakaan dia bertemu dengan Elsa. Elsa tersenyum simpul. Tapi Ina hanya menatapnya datar sambil melalui Elsa yang kini tengah menunduk.

Elsa menempatkan dirinya dikursi yang tadi diduduki Ina. Menatap laki-lakinya yang tengah melamun.
"Van." Ucap Elsa seraya menyentuh lengan Bevan. Bevan sedikit terkejut dibuatnya karna tadi dia sedang melamun.
"Kenapa Sa?" Ucap Bevan tersenyum. Elsa menggeleng seraya tersenyum, tapi wajahnya nampak murung.
"Yakin?" Elsa mengangguk.

*******

Suara angin dan deburan ombak bepadu jadi satu. Seorang gadis yang mengenakan dress peach tanpa lengan duduk diantara hamparan pasir putih. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Menanti kehadiran senja yang mengingatkannya pada sebuah kenangan indah. Tanpa disadari pipinya kini sudah basah. Dan memori itu berputar kembali di pikirannya.

______

"Sebenernya ada apa Sha?" Tanya Elsa bingung. Elsa melirik kearah Bevan yang berdiri diantara Elsa dan Shaloom.
"Lo sayang sama Bevan?" Ucap Shaloom parau. Elsa dan Bevan mengernyit. Terkejut dengan apa yang dikatakan Shaloom.
"Ma..maksud lo apa Sha?" Ucap Elsa bergetar.
"Jawab gue Sa!" Balasnya penuh penekanan. Elsa menunduk.
"Iya." Jawabnya lirih tapi tetap terdengar oleh yang lainnya. Shaloom mengusap air mata yang sedari tadi membasahi pelipisnya. Dan pandangannya beralih pada Bevan.
"Dan lo. Apa lo sayang Elsa." Bevan bungkam. Shaloom menggenggam kedua lengan Bevan kemudian mengguncangnya.
"Jawab gue Van!!!" Pekiknya. Bevan menatap Shaloom tak percaya.
"Ok. Kalo lo diem berarti itu ya." Pandangannya kini beralih ke Elsa yang tengah menangis. Dua gadis ini menangis.

"Kenapa lo tega sama gue Sa?" Tanya Shaloom yang kini tengah terisak.
"Maaf Sha. Maafin gue." Ucap Elsa seraya menggenggam pundak Shaloom. Tapi Shaloom segera menepisnya.
"Gue.. gue cuma mau ambil milik gue Sha. Sorry, kalo gue egois. Tapi gue sayang Bevan dari sebelum lo kenal dia. Dan sekarang, gue cuma mau ambil milik gue Sha." Ucapnya terisak. Shaloom tercekat mendengar itu semua.
"Sungguh gue gak ada maksud sedikitpun buat nyakitin lo. Gue harap lo bisa ngembaliin Bevan ke gue Sha" Lanjutnya. Shaloom sudah tak kuasa mendengar semuanya. Ia segera beranjak meninggalkan mereka. Tapi, Bevan dengan cepat mencegat tangannya. Disisi lain, Elsa menggenggam tangan Bevan. Seolah tidak akan membiarkan Bevan pergi.

Bevan terdiam melihat kedua gadis dihadapannya yang tengah menangis seraya menatapnya nanar ini. Siapa yang harus dia tarik kedalam pelukannya. Shaloom pacarnya. Atau Elsa cinta pertama yang mengisi kekosongan dihatinya.
"Van, jangan tinggalin gue lagi." Ucap Elsa lirih. Shaloom menatap Bevan yang sedang menatap Elsa dalam. Walaupun tangan Bevan menggenggamnya. Lama kelamaan genggaman tangan Bevan semakin mengendur. Shaloom menghela napas panjang.
"Ok, selamat buat kalian berdua. Dan maaf gue udah jadi pengganggu hubungan kalian. Gue cuma orang baru yang terjebak ditengah hubungan kalian." Shaloom melepaskan genggaman tangan Bevan. Perih yang kini dia rasakan. Pacarnya mencampakkannya demi sahabatnya sendiri. Shaloom berlari meninggalkan mereka berdua. Bagi Shaloom perlakuan dan tatapan Bevan pada Elsa dan padanya, sudah menjawab semuanya. Bahkan mengejarnya pun tidak.

______

Shaloom kembali mengusap air mata yang membasahi pipinya. Sudah satu minggu dia tidak sekolah. Alasannya, dia belum ingin bertemu dengan Bevan. Andai saja Bevan bersikap acuh adanya. Mungkin akan mudah baginya untuk melupakan Bevan. Tapi, sebaliknya. Bevan justru terus mengejarnya. Bukan untuk menjadi pacarnya lagi. Tapi untuk menjadi temannya. Itu justru sangat menyakitkan untuk Shaloom. Dan membuatnya sulit untuk melupakan Bevan. Karna semakin Bevan mendekatinya. Lukanya akan semakin sakit.

"Mungkin gue harus lompat dari tebing itu. Biar kepala gue kena batu. Dan gue hilang ingatan. Mungkin ini lebih baik." Gumamnya.

"Dari pada lo lompat kesitu. Mending lo cuci otak aja." Ucap seseorang yang tiba-tiba mengejutkan Shaloom. Seorang laki-laki berperawakan tinggi. Bertubuh atletis yang memiliki wajah khas timur tengah. Sorot matanya sangat tajam dengan iris mata berwarna kebiruan.
Shaloom mengernyitkan dahinya. Bagaimana mungkin ada orang lain disini. Setaunya hanya dirinya, Bevan, Ina, dan Elsa yang tau tempat ini. Karna pantainya cukup tertutup. Dan tidak banyak bahkan tidak ada yang datang kemari.
"Maksud gue, dari pada lo lompat kesitu kan belum tentu lo selamet. Kalo mati gimana? Kalo dimakan hiu gimana? Nah lo kan pengen amnesia doang nih, jadi mendingan cuci otak aja." Ucap laki-laki itu santai. Kini dia berdiri tepat disamping Shaloom seraya memasukkan tangannya kedalam saku celam pendek berwarna hijau armynya itu.
Shaloom mendongak menatap kesal ke laki-laki itu.
"Lo siapa?"

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang