1. Murid Baru

65 3 6
                                    

Aku masih ingat dengan jelas saat itu. Waktu itu aku dan Lock masih kelas enam. Tahun terakhir kami di sekolah dasar. Tahun terakhir Lock menderita sengsara. Seharusnya.

Dia tidak memiliki ayah. Hanya sosok ibu yang mendampingi kesehariannya. Aku sahabat karib Lock. Rumahku dengannya hanya berjarak beberapa langkah. Keluargaku juga begitu akrab dengan mereka. Singkatnya, aku sudah menganggap dia saudaraku sendiri.

Dengan bekal senyuman seorang ibu, Lock berangkat sekolah setiap hari. Namun senyuman itu hanya bertahan sampai di pintu gerbang.

"Hey!" teriakan dari belakang membuat Lock spontan memandang.

Tiba-tiba pukulan keras mendarat di belakang lehernya sehingga membuat lutut Lock sampai jatuh menyentuh tanah.

"sa-sakit" keluh Lock dengan suara samar-samar.

"siapa suruh jadi anak lemah." kata anak kelas enam yang badannya agak lebih besar dari Lock. Teman sekelas memanggilnya Mario.

Jangan salah sangka, Mario bukan anak yang kejam. Tapi itu perlakuan yang normal bagi sekolah kami pada Lock. 

Saat Lock memasuki ruang kelas, tak ada ucapan selamat pagi dari siapapun yang dapat dia balas. Seakan kelas itu tak menganggap akan kehadirannya. Lock tak membuat kesalahan satu pun. Tapi semua ini terjadi karena apa? Kau dapat langsung mengetahui jawabannya dari bisikan-bisikan kecil di dalam kelas yang mengudara memenuhi seisi ruangan.

"Lihat si anak miskin sudah tiba"

"Bukankah itu seragam yang dia pakai kemarin? ih jorok"

"Katanya dia dipukul sampai jatuh di muka gerbang. Rasain tuh"

Bahkan tak ada seorang pun yang mau duduk disampingnya. Dengan bangku kosong di sebelah kanan, Lock tampak baik-baik saja dengan hal itu.

Dari belakangnya mendadak ada yang menyiram dengan gayung berisi air bekas cucian piring di kantin tepat di pundak Lock.

"Mandi dong. Jangan harus aku yang mandiin." seisi kelas tertawa melihat kejadian itu.

Emosi wajahnya tak berubah. Dengan senyuman menahan perih luka dilutut, dia menghadapi pagi itu.

Jelas sekali kelas ini dipenuhi ras manusia terendah.

Lock tidak mendapat jajan dari rumah. Karena itu dia senang jika ada guru yang menyuruhnya melakukan sesuatu. Dia rela menjadi jonggos para pahlawan tanpa tanda jasa karena dia tahu dia akan mendapatkan imbalan untuk dijadikan sebagai uang jajan makanan.

Tapi tidak semudah itu. Meski dia sudah mendapat imbalan berupa uang dua ribu rupiah, ada satu hal yang perlu dia hindari. Mario, anak paling nakal di kelas kami. Biasanya jika Mario melihat Lock mendapat imbalan, dia akan menyita uang itu.

Setiap hari ini menjadi pemandangan yang biasa bagiku. Bukannya aku tak mau membantu sahabat karibku, tapi dari kami kelas satu Lock yang memutuskan untuk menjauhiku di sekolah.

Katanya begini "Aku tak mau kalau Mugi juga harus dimusuhi karena berteman denganku. Karena itu tolong bantu aku, menjauhlah dan jangan pernah menganggap aku sebagai temanmu saat di sekolah."

Seorang anak ingusan yang tak pernah mencari pertolongan. Tak pernah mengemis ampunan. Lima tahun dia menjalani hidup seperti ini.

Sampai saat itu tiba. Seorang murid baru datang ke kelas kami. Si cantik gadis kaya raya.

"Halo nama saya Emily Abigail. Aku pindah ke kota ini bersama keluarga karena urusan pekerjaan ayahku. Mohon kerja samanya ya teman-teman."

"kamu boleh duduk disana" kata pak guru menunjuk tempat duduk kosong yang ada disamping Lock. "Semua tolong bersikap baik padanya ya!"

Berhubung sudah tak ada tempat duduk kosong lagi selain itu, maka takdir pun membawa si miskin dan si kaya duduk berdampingan.

Tercium bau busuk yang menyengat, pak guru bertanya pada seisi kelas "bau apa ini?"

dengan serentak seisi kelas menjawab dan tertawa

"itu bau Lock hahahaha"

Pak guru itu hanya menggeleng kepala. Namun si murid baru itu tampak tidak terusik dengan bau menyengat dari Lock. Terlintas dalam benakku yang naif saat itu

"mungkin gadis ini dapat menolongnya"

Aku ingat jelas dengan apa yang dikatakan Lock pertama kali padanya di kala itu.

Hey

Di balas dengan senyuman manis si cantik murid pidahan.



HEY BYEWhere stories live. Discover now