Sebelumnya aku mohon maaf kalau tulisan ini jelek, tanganku udah gak bisa diajak kompromi hehe. Langsung ke intinya aja ya?

Hmm buat Evan, makasih ya karena
Udah mau jadi sahabat aku dari kita sama-sama kecil dulu. Main bareng, kadang makan bareng dirumah kamu atau dirumah aku hehe. Makasih karena udah nemenin aku check up ke dokter, maaf kalau aku ngerepotin. Mungkin saat kamu baca ini, aku udah gak ada lagi hehe. Aku udah ga ngerasain sakit pasti, aku udah tenang.

Kamu bahagia terus ya sama Laras. Kalian berdua termasuk pasangan yang serasi kok, semoga bisa sampai ke pelaminan bareng ya *ea:v dan terus bersama hingga menua nanti. Aku pasti ikut seneng liat kalian bahagia.

Laras, jaga Evan ya. Dia bukan cuma pangeran baik, tapi dia sangat tulus mencintai kamu. Jangan sia-siakan Evan, aku percaya sama kamu, kamu bisa menjaga Evan.

Udah dulu, ini surat yang aku tulis untuk kalian berdua.

Tertanda,
Amanda Lika H.

Evan menutup surat itu dan mengusap wajahnya kasar. Ia segera bangkit dari posisi duduknya dan menarik tangan Laras agar pergi ke depan ruang operasi. Ia melihat dokter sudah keluar dan berbincang dengan orang tua Manda dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan.

"Orang tua Amanda ya?" Tanya dokter itu sembari membuka maskernya sampai ke dagu. Yunita mengangguk dan memeluk lengan Ardi di sebelahnya,

"Bagaimana dok operasinya? Lancar?" Tanya Yunita penuh harap. Dokter itu menghela napas , dan menjawab,

"Maaf, pak, bu. Anak bapak ibu sudah tidak bisa kami selamatkan karena tumor yang ada di otaknya sudah menyebar begitu luas,"

Yunita merasa kedua kakinya lemas, ia tak percaya dengan apa yang dokter ucapkan tadi. Air matanya turun dan memeluk Ardi di sebelahnya,

"Mas, anak kita mas!!!" Jeritnya. Evan dan Laras datang dan Ardi menoleh,

"Om? Gimana om? Manda selamat kah?"

Ardi mengelus pundak Evan, "kalian berdua yang sabar ya, Manda udah gak ada,"

Jantung Evan terasa seperti dihantam oleh bebatuan keras. Ia tidak percaya, begitupun dengan Laras yang masih tidak menyangka.

Ardi menoleh kembali ke arah istrinya, "kamu yang sabar, kita juga gak ingin anak kita seperti ini. Ikhlaskan saja, dia sudah tenang. Dia sudah tidak merasakan sakit lagi," ucap Ardi yang membalas pelukan istrinya. Yunita masih menangis tersedu-sedu di pelukan Ardi. Putrinya sudah pergi untuk selamanya.

Evan menggeleng, ia masih tidak percaya. Laras merasa lemas sekarang, benar apa kata Manda di surat itu, bahwa setelah membaca surat itu, Manda sudah tidak ada. Laras terisak pada akhirnya.

Manda sudah tenang sekarang.

Rumah Manda ramai didatangi orang berbaju hitam. Ada guru-guru dan nurid SMA Pasifik yang ikut berdatangan. Jenazah almarhumah Manda yang sudah dimandikan. Laras juga ikut membaca disana, sedangkan Evan memilih untuk duduk di sebelah Ardi yang sedang menyiapkan keranda dan perlengkapan lain bersama para tetangga yang lain.

Yunita memasuki kamar anak gadisnya. Duduk di sisi ranjang kasur dan meraih bingkai foto, memandangnya dengan tatapan nanar,

"Kenapa kamu ninggalin mamih secepat ini, sayang?" Tanyanya pada diri sendiri.

"Mamih pengen banget kamu cepet sembuh," lirihnya sembari mengusap air mata yang jatuh di pipinya.

"Sekarang kamu udah gak ngerasain sakit ya? Kamu udah tenang, nak. Papih sama mamih akan selalu doain kamu dari sini kok," ucapnya lagi, kemudian ia memeluk bingkai berukuran sedang itu dengan erat,

EVALARA [✔] Where stories live. Discover now