[XV] Sandekala

6.1K 861 464
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

Manhattan, 13 Mei.

Musim dingin pergi dan musim semi datang
Seiring berjalannya waktu kupikir itu kan jadi terbiasa, tapi semuanya gagal.
Cintaku semakin memperjelas bentangan jarak dan waktu. Pelukan hangatmu saat itu membekas selalu.
Hanya saja, aku sangat merindukanmu dihari ini.
Apa kabarmu hari ini sayang?
Semoga semua usahaku yang belum membuahkan hasil pasti ini masih menjadi landasan untaian doamu dalam setiap helaan nafas.

-J-

NEW YORK, hutan beton yang menantang batas langit. Ayahnya bilang penghuninya sibuk mengurus urusan duniawi sampai hampir tak punya waktu luang dan bercermin. Ayahnya bilang, kota ini adalah definisi menikmati hidup semaksimal mungkin. Ayahnya bilang kota ini adalah kuali peleburan bagi kaum pendatang. Dan ayahnya bilang lagi, kota ini adalah kata ganti dari kerasnya kehidupan.

Awalnya Jaehyun mengira semua julukan itu hanya kalimat mengada-ada sang ayah sebagai pengantar tidurnya ketika kecil, namun kini ia benar-benar merasakan sendiri betapa kocar-kacir hidupnya mengimbangi geliat kota 'the big apple' yang tak bisa diajak berleha barang sekejap.

Wahai tawanan waktu...
Dulu aku perbendaharaan rahasia
Kebaikan dan kedermawanan
Kurindu perbendaharaan ini dikenali
Maka, kucipta cermin....

Jaehyun menutup buku antologi syair dari seorang filsuf terkenal yang dibacanya disepanjang jalan pulang. Meski terlampau sering membaca berulang, tiap-tiap bait dari syair itu tetap terasa menggetarkan. Didalamnya terkandung makna tersirat baginya untuk mendedah arti dari kehidupan.

Ialah tawanan waktu, ialah makhluk yang terikat oleh kehidupan dunia tanpa jeda di denyut Manhattan. Terhanyut dalam arus derasnya yang gemerlap maupun pekat adalah sebuah keniscayaan, tapi ia tetap harus berpegang dengan apa yang ia jadikan landasan menapakan kaki pada aspal firdausnya.

Mengadu nasib, atau Jaehyun lebih suka menyebutnya dengan menantang semesta. Terdengar jumawa memang, tapi inilah dia dan apa yang sedang ia lakukan. Namun seperti yang ayahnya bilang, nyatanya mengadu nasib di tanah orang lebih keras ketimbang mencangkul tanah tandus negara sendiri. Meski dibekali fasilitas penunjang hidup yang ia terima dari hasil bujuk rayu sang bunda namun menjalani hari-harinya di kota perantauan tak semudah dan seenak orang berkata, "Yang hidup di New York itu pasti orang kaya."

Ya, sah-sah saja orang berkata demikian tapi balik lagi, kaya atau tidaknya bukanlah pionir bagi seseorang memutuskan menetap di suatu kota. Jika disuruh memilih tentu Jaehyun lebih senang tinggal di Jogja dimana ada bakmi seharga pulsa handphone, deretan burjo serta nasi rames yang bisa dibeli setengah porsi dengan lauk yang hangat yang kapan saja bisa dilahap bukan sebatas makanan cepat saji dari penjaja makanan dalam truk saja yang kini menemaninya dikala jam makan tiba.

Jogja Heat Where stories live. Discover now