[XII] Antargata

6K 942 382
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

DUDUK berdua menikmati malam sembari mengeja ulang aksara bait-bait kasih semusim, begitulah cara keduanya memaknai peringatan hari jadi. Tanggal hanya sekedar pengingat, tak perlu perayaan berlebihan karena keduanya sadar perjalanan masih panjang, meskipun arahnya sudah semakin jelas. Di fase yang telah menjejaki tahap lebih serius seperti ini, tak jarang ego singgah namun keduanya tak bosan untuk saling mengingatkan dan belajar menjalani hubungan yang tak lagi kekanakan.

Jemari lentiknya tak berhenti menguas kanvas dengan gerakan luwes dan spontan, mengumbar imajinasi yang didominasi warna dengan degradasi teduh yang membias tipis bagaikan riak air disekelilingnya.

Biru, itulah warna yang sedari tadi Taeyong pakai untuk mendesak paksa pesan-pesan dalam folder estetiknya. Menghadirkan gambaran Jaehyun dalam wujud runyam yang menurut Taeyong terlampau jelas dipahami daripada lelaki itu sendiri.

Dalam sudut pandang Taeyong, aura biru membingkai karakteristik Jaehyun. Biru adalah aura yang paling perasa diantara semua warna aura. Warna yang memancarkan kehangatan, kasih sayang serta ketulusan. Biru tidak meminta mata untuk memperhatikan, namun ketika memandangnya hati bagai terhanyut dalam pusaran kenyamanan serta ketenangan seperti yang selama ini Taeyong impikan.

"Kenapa kamu selalu melukis lukisan abstrak?"

Lelaki berlesung pipi bertanya dengan dagu lancip yang ditopangkan pada bahu sang kekasih, matanya melirik pada Taeyong yang masih enggan melepas pandang dari lukisannya yang baru setengah dikerjakan. Padahal Jaehyun berharap lelaki mungilnya sedikit menoleh, karena bibirnya sudah bersiap untuk mencuri kecupan dari pipi sewarna sakura yang belakangan ini rutin menjadi objek pelampiasan kegemasannya pada si merah muda.

"Entahlah, aku hanya memainkan intuisiku dalam setiap goresannya."

Taeyong memulas palet coklat kayu manis pada kanvasnya. Warna yang hangat dan harum, mewakili aroma Jaehyun yang lekat tercium ketika lelaki itu beralih mendekapnya erat dari belakang.

"Bukannya bentuk suatu objek menegaskan parameter estetiknya ya?"

Lagi, seorang Jung Jaehyun terlalu berpatok pada pikiran realistisnya membuat Taeyong menghela nafas pelan.

"Seni tak hanya dijustifikasi berdasarkan jelas atau tidaknya, sama seperti manusia,"

"Ada kalanya kita ingin terlihat jelas dimata orang lain, ada pula saatnya kita memaksa pandangan mata mereka membayangkan dan berandai-andai tentang hidup yang sedang atau telah kita jalani."

Perdebatan filosofis dan realistis kembali muncul diantara keduanya lantaran hal sepele. Bagi penganut aliran suprematisme seperti Taeyong, seni adalah representasi konkret perasaan yang paling halus dan objek dalam seni sungguh tidak perlu. Menurutnya objek adalah unsur penjajah kemurnian dalam seni, untuk itu ia lebih senang melukis abstrak karena dalam seni ini perasaan adalah objek dari lukisan itu sendiri.

Jogja Heat Where stories live. Discover now