[IV] Amreta

11.6K 1.8K 637
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

Sepertiga malamnya sudah hampir terlewat namun ada segelintir pikiran pembunuh kantuk yang memaksa untuk tetap terjaga melewati panjangnya malam purnama sembari menatap kosong pada wajah ayunya yang tak mau kalah memancarkan pendar padahal hanya disinari cahaya lampu kamar yang temaram. Bagaimana hendak terlelap jika pikirannya tengah dirongrong habis-habisan oleh seseorang yang baru saja ditemuinya.

Damai, itulah kesan terkuat yang Taeyong rasakan saat bersinggungan dengan Jaehyun untuk yang kedua kalinya. Lelaki itu memiliki mata teduh dengan wajah berbingkai sepasang lesung pipi membuat sisi ramahnya semakin terasa, bibir plum-nya amat retoris pintar berbahasa, tutur katanya kalem namun lugas dalam mematahkan segala hal yang dirasa tak sesuai nalarnya dalam sekejap mata berlandaskan pemikirannya yang eksplisit; terang benderang.

Dengan pembawaannya yang tenang, tawanya yang hangat serta guyonannya yang konyol, lelaki itu seolah tak gentar pada wajah tak bersahabat yang sedari awal pertemuan terus Taeyong pasang sebagai alarm peringatan baginya untuk tak selangkah pun lebih mendekat. Lelaki itu dengan tengilnya masuk tanpa permisi mengikis tembok anti sosial kokoh yang sudah susah payah Taeyong bangun.

Sang komodo sukses membuat hati dan logika Taeyong kini berada dalam arena pertempuran untuk berlomba siapa yang lebih dulu menemukan pembenaran atas pandangannya terhadap kaitan malam dan purnama. Anehnya, Taeyong tak serta merta menerima propaganda pemuda itu secara buta-tuli seperti biasa karena pada hakikatnya hal itu justru menjadi satu-satunya alasan yang membuatnya masih tetap terjaga menunggui pagi lantaran memikirkan sebutir kata bernama langit.

"Kenapa kamu bisa tersenyum?" tanya Taeyong pada pantulan dirinya sendiri didalam cermin.

Apa itu sebenarnya yang disebut senyum?

Orang bilang senyum adalah analogi dari sebuah kebahagiaan. Saat seseorang menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk kurva manis maka secara nalar yang tercermin dari lengkungan tersebut dapat diartikan sebagai wujud kebahagiaan yang berkorelasi secara paralel antara bibir dengan hati, walau ada pula orang yang mengulum senyum termanis namun dibaliknya memendam seribu sayatan teriris.

Selama ini Taeyong berdiri diatas hatinya yang lumpuh, selalu diam ditempat, cenderung berorientasi pada kenangan dan kesendirian. Keras kepala yang menggumpal, sakit hati yang terus disiram dengan air mata hingga tumbuh bak tanaman, berumpun dan berakar menjadi sisi buruk yang membuatnya melebur menjadi manusia baru yang enggan menerima sangkalan, perdebatan, maupun nasihat. Kemampuan bersosialisasinya dibiarkan mati bernisankan wajah dingin yang menimbulkan kesan asing dan menakutkan membuat siapapun enggan mendekati.

Taeyong bukanlah kaum eccedentesiast yang menyembunyikan kesedihan dibalik topeng senyuman. Ia tidak munafik, tak juga membohongi dirinya sendiri ataupun orang lain atas ketidakbahagiaannya. Ia berlaku seadanya, tak hendak menempatkan diri dalam bayang-bayang kepalsuan manusia-manusia bermuka dua karena kesedihan memang telah membuatnya lupa bagaimana cara tersenyum dan kebohongan membuatnya meremehkan kekuatan dari sebuah senyuman.

Jogja Heat Where stories live. Discover now