[I] Hayuning

24.8K 2.5K 1.2K
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.

Yogyakarta, atau singkatnya orang lebih sering menyebutnya dengan Jogja. Sebuah kota dengan ribuan julukan, sebuah kota dengan segala hiruk-pikuk kekaleman jejak dari kedigdayaan Kesultanan dan filosofinya.

Di kota inilah seorang pemuda bernama Jaehyun menemukan terlalu banyak alasan untuk menjadi sebenar-benarnya manusia, tentang bagaimana Jogja menjejalkan keinginannya untuk tetap tinggal didalamnya dengan berbagai macam alasan irasional.

Jung Jaehyun, sebuah nama yang mungkin tidak familiar di kalangan masyarakat Jogja itu sendiri. Dia adalah pemuda perantauan asal kota Metropolitan Jakarta, seorang peranakan yang lahir dari perpaduan romantisme alkulturasi antara Indonesia dan Korea yang sudah lima tahun menggeliat sebagai salah satu dari kurang lebih tiga juta jiwa yang mendiami Jogja. Berawal dari kecintaannya pada sebuah kata bernama 'baca', hampir setengah dari hidupnya disandarkan pada kota Gudek ini.

Dalam hitungan derajat bagi Jaehyun Jogja telah mengambil separuh atau seratus delapan puluh derajat pemikiran dan jalan hidupnya. Baginya Jogja bukan sekedar kota dan pemukiman untuk tinggal, dibalik itu sendiri Jogja adalah sebuah peristiwa pendewasaan dan peta penunjuk arah dalam pencarian jati diri yang membuatnya jatuh hati berkali-kali bagaikan candu, kemanapun dan sejauh apapun ia melangkah kakinya pasti akan kembali pada kota ini.

Ada banyak alasan mengapa mereka yang pernah dan tinggal di Jogja susah berpaling atau melupakan kota ini termasuk Jaehyun, setelah lulus dengan predikat Cumlaude dari jurusan terkemuka di Universitas Gajah Mada Jaehyun pernah untuk sejenak menepi dari kota ini untuk bisa menilik sisi lain dari kota yang lain pula.

Namun setahun lalu Jaehyun kembali datang, melepaskan jabatan menterengnya sebagai HRD sebuah perusahaan minyak sekelas Pertamina dengan gaji menggiurkan yang sudah digelutinya selama dua tahun hanya untuk mengocok dadu nasib barunya di Jogja sebagai penyiar radio lokal daerah yang penghasilannya bisa dibilang senin-kamis. Lucu memang, ibarat punya berlian namun ditukar kerikil.

Yang Jaehyun sadari selama kepergiannya adalah Jogja tetap jadi rumah terbaik untuk pulang yang lebih hangat dari dekapan bundanya sendiri di kampung halaman dan disinilah ia kembali memulai semua secara perlahan dari awal, alon-alon seng penting kelakon* adalah motto hidupnya saat ini.

Jogja terlalu banyak memiliki sudut-sudut melankolis terlepas dari perlambangan kota ini sebagai sebuah kebisuan kisah cinta yang gagal bagi sebagian orang. Ibarat kata Jaehyun sudah mengenal Jogja dari sisi baik maupun ganasnya dan jika diandaikan sebagai seorang kekasih anggaplah Jaehyun sudah menggagahinya berkali-kali. Segala kemolekannya sudah ia jamah, mulai dari bagian paling luar ke bagian paling intim, dari yang tercantik sampai yang terluar biasa cantik dan dari yang paling tulus hingga yang paling kardus.

Kalimat terakhir mungkin adalah definisi Jaehyun sendiri, yah manusiawi Jaehyun adalah lelaki bebas dengan tampang yang bisa dibilang diatas rata-rata. Rambutnya halus sewarna kuah gudek yang kecoklatan, kulitnya putih ditengah mayoritas kaum sawo matang dan badannya gagah tinggi menjulang serta tutur kata kejawen* halus nan ramah membuatnya jadi incaran para mertua seantero kota, mustahil baginya jika tak pernah kecantol dengan sebuah ikatan berjudul pacaran.

Jogja Heat Where stories live. Discover now