[XIII] Dalana

5.6K 991 707
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

HARI itu adalah hari terburuk yang paling Sehun rutuki dalam hidupnya, ia terpaku tanpa sepatah kata, seakan kosakata hilang tak tersisa begitu dibacanya sebuah pesan berisi surat yang sesungguhnya ditujukan pada seorang yang amat disayanginya.

Rasa marah, kecewa, malu, terluka dan sesal bercampur menjadi kehancuran yang tak tersampaikan. Dilahirkan sebagai saudara, berbagi rahim, berbagi tangis dalam naungan atap yang sama, perihal sifat dan tabiat sebagai saudara tentu sudah hafal diluar kepala. Sedianya Sehun tak pernah menyangka adiknya yang dikenalnya lugu justru terbenam dalam hubungan yang tak bisa ditolelir oleh norma beratas namakan cinta.

"Apakah kamu dan dia sudah melakukan sesuatu seperti yang aku pikirkan Tae?"

Sehun bertanya lugas dan Taeyong hanya diam atas setiap cecaran yang ia lontarkan. Sang adik yang didepannya ini hanya menangis tanpa suara membuat Sehun semakin tersulut amarah hingga secara reflek menarik paksa kaos turtle neck yang dikenakan Taeyong untuk menuntut jawaban yang tak kunjung ia dapatkan. Dan benar, intuisinya sebagai seorang lelaki dewasa terjawab karena dibalik kain abu-abu itu sang adik menyembunyikan ruam keunguan yang cukup untuk membenarkan segala hipotesisnya. Hati Sehun hancur berkeping-keping.

"Bapak dan ibu membesarkan kamu bukan untuk menjadi manusia kotor seperti ini!"

Nadanya tinggi, menusuk, diiringi hantaman keras pada daun pintu. Bentakan Sehun seketika membuat Taeyong merunduk menutup telinganya ketakutan, tubuhnya bergetar, bibirnya terkoyak karena terlalu lama menahan isakan. Tak sanggup baginya untuk bersuara didepan sang kakak, bahkan ia hanya bisa pasrah ketika Sehun menariknya paksa menuju kamar mandi.

Air matanya yang luruh tersamarkan dengan kucuran air yang bertubi-tubi diguyurkan pada tubuh kecilnya yang bersimpuh di lantai, Taeyong meringis ketika Sehun menggosok asal kulitnya. Sehun seolah sedang berusaha menghapus semua noda kotor tak kasat yang menempel pada tubuh adiknya seraya merapal kata yang bagai melumat kebodohan Taeyong akan cintanya yang semu.

Kekecewaan Sehun seakan ikut berkolaborasi menghancurkan hati Taeyong yang memang sudah hancur. Sesungguhnya Taeyong pun tau sedalam apapun ia menyimpan bangkai, lama kelamaan akan tercium juga. Tentu saja wajar jika Sehun murka seperti ini, kemarahan sang kakak adalah sebuah hukum alam bagi Taeyong —bukti akan aksi yang menyulut reaksi, meski semalam ia telah memutuskan untuk mengakhirinya namun residu atas keegoisannya yang mengikuti hasrat terlarang tetap saja melekat sebagai cacat yang membuat nilainya hancur bahkan didepan saudaranya sendiri.

Disisi lain tak seharusnya ini terjadi, seharusnya tak Sehun biarkan Taeyong mengulurkan tangan tangannya untuk masuk dalam godaan Jongin. Taeyong yang selama ini hidup dalam stereotype lugu dan awam dengan yang namanya percintaan tentu menjadi telaga madu bagi lelaki culas seperti Jongin.

Namun sialnya Sehun tak pernah menyadari jika sosok adiknya yang manis dan ceria telah berubah menjadi sendu dari hari-kehari adalah karena sang adik menyimpan rahasia sebagai orang ketiga. Bagai sebuah tamparan telak, sungguh Sehun merasa gagal menjadi seorang kakak.

Jogja Heat Where stories live. Discover now