Aku ingin menikah, Mi.

Start from the beginning
                                    

"Iya, iya. Umi paham. Pokoknya Insyaallah Umi akan carikan kamu jodoh yang terbaik. Kalau besok bagaimana? Kamu sanggup?"

"Insyaallah Mi"

^^^

Pagi, Minggu 1 Desember. Siyah duduk sendiri didepan kaca. Melirik berulang-ulang sambil tersenyum. Hiasan dinding bergantung tepat diatas kepala tempat tidur, hiasan indah berwarna Emas bertuliskan 'SS', kependekan dari Siyah dan Salman, permintaan khusus dari calon suaminya. Kamarnya sudah rapi sekali, seperti kamar bidadari di surga pikirnya. Bunga-bunga mawar merah segar menghiasi ranjangnya, susunan kotak-kotak kado sudah mulai memenuhi ruangan sejak dua sampai tiga hari yang lalu.

Masih pagi, masih jam setengah delapan tepat ketika ia melirik kearah jam bulat hijau kecil dimeja.

"Setengah jam lagi" lirihnya dalam hati

Jemarinya dingin, kaku dan basah. Tisyu yang sedari tadi dipegangnya entah sudah seperti apa bentuknya. Lusuh dan kemerahan akibat dari terkena hena dan kuatnya tekanan yang diberikan kepada alat pembersih yang berasal dari kulit kayu tersebut.

"Calon mempelai laki-laki sudah datang"

Suara gadis berjilbab ungu mengagetkannya yang sejak tadi sudah khawatir. Suara yang membuat hatinya tambah gusar gundah gulana tak karuan pokoknya. 'Nurul' sahabat sekaligus merangkap sebagai salah satu bridesmaidnya hari itu.

Secepat kilat, semua orang sudah berkumpul diruang tamu. Duduk ditempat masing-masing sesuai porsinya.

"Hayuk atuh neng" wanita yang sudah tidak muda lagi itu merentangkan tangannya. Tampak sekali kecemasan dengan sedikit kesedihan diwajahnya. Barangkali, karena hari ini menurutnya tugasnya sudah selesai. Hari mengantarkan putri bungsunya ke pelaminan untuk kemudian kemungkinan besar akan diboyong pergi mengikuti suaminya. Meski begitu ia masih tetap terlihat cantik, mungkin memang benar kata orang-orang bahwa sesungguhnya kecantikan itu memiliki bekas.

"Iya, Mi"

Gadis berkebaya putih tersebut berdiri perlahan dibantu beberapa braidesmaid yang sudah mengenakan kebaya kompak, beberapa membetulkan hiasan siger dikepala juga bunga melati yang menjuntai diluar hijab putihnya. Kaus kakinya mulai berpindah tempat, dibawa bergerak kearah depan menuju tempat perkumpulan.

Sang gadis menundukkan pandangan, berjalan perlahan menyusuri tangga, tak berani menatap apalagi mencari liar. Hanya sedikit lirikan. Lirikan mencari seseorang. Seseorang yang sangat spesial baginya pada hari ini dan hari-hari berikutnya, setidaknya itulah yang ia bayangkan.

Perlahan tapi pasti, kakinya sudah menginjak anak tangga yang terakhir. Beberapa orang tampak sibuk membolak-balikan dokumen didepan hiasan dinding pernikahan dengan tema putih dan emas. Dua orang lain tampak saling tertawa lepas, entah apa yang diobrolkan. Sepertinya mereka sangat bahagia. Paling tengah terlihat seorang pemuda, duduk bersila dengan baju berwarna putih bersinar. Wajahnya menunduk, perasaan gugup sangat jelas tergambar dari gesture tubuhnya.

"Baik, Bapak-bapak Ibu-ibu. Acara akan segera kita mulai"

Mendengar kalimat ini Asiyah semakin gusar, jarum jam serasa begitu lama berputar. Ia dipanggil, duduk bersebelahan dengan calon suami. Disatukan dengan sebuah selendang putih tipis yang masih tercium bau barunya. Tak lama tangan calon suami sudah menjabat tangan Abinya, lalu, mengucapkan kata-kata yang akan meruntuhkan dinding haram menjadi halal. Seketika mereka halal, setelah saksi yang dipercaya mengucapkan kata-kata 'Sah' secara bergantian.

Hari ini, Asiyah Abdullah telah resmi menjadi istri dari Muhammad Salman Alfarisi. Lelaki yang dikenalnya semasa berkuliah di Lipia. Lelaki yang berani mempersuntingnya tanpa mengetahui dia anak siapa atau seperti apa keluarga gadis itu sebenarnya. Yang berani meminangnya hanya dengan alasan pernah mendengarnya mengaji surat An-naba sebanyak satu kali.

Dzikir Cinta (Selesai)Where stories live. Discover now