v. [🌃] dialog bersama takdir

2.7K 534 74
                                    

[🎬] v

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[🎬] v. mimpi bersama bintang
—malam, di angkringan pak wira

"dihar, kamu yakin mau makan disini?" jeno menyenggol lengan dihar, menilik tempat berjualan yang mereka hampiri, jeno jadi ragu dengan selera makannya.

"udah, tenang jen. aku sama eden biasa makan disini kok."

"eden beda, dih. dia apa aja dimakan. ngga kaya aku."

dihar yang sedang mengantri menghela nafas panjang, "aku jamin kamu bakal minta tambah. udah diam aja."

akhirnya jeno memutuskan untuk mengambil tempat duduk agak jauh dari tempat penjual. sambil mengelap meja, netranya berkeliling memandangi beberapa lampu petromaks yang menyala terang.

"kenapa? tempat ini kotor?" dihar tiba-tiba sudah ada di depannya. sambil ikut membersihkan meja, dia memandangi jeno dengan wajah datar.

"kita makan di rumah aja, gimana?"

"jen, ingat kan, jangan memandang sesuatu dari luarnya? sekarang tenang dulu, tunggu nasi gorengnya datang."

tak lama, bapak-bapak yang diyakini sebagai pemilik warung datang dengan aroma nasi goreng yang menguar. sedap baunya, jeno jadi ikut menoleh mengikuti gerakan tangan yang menaruh piring di meja.

"loh, si mbak. nak eden kemana? tumben ngga ikut makan kesini," sambil memperbaiki letak kain pengelap keringat, bapak itu tersenyum menyapa saat menyadari pelanggan setianya datang kembali.

"eden di rumah, sibuk gambar. dibungkus empat ya pak, dua ngga pakai telur. sama semuanya ngga usah dikasih sayur."

"sip deh mbak. ini pacarnya, toh? tumben ngga sama teman cowoknya yang satu lagi."

jeno yang merasa terpanggil menoleh, menatap pak tua yang senyumnya tak lepas daritadi. gurat lelahnya seakan tak terlihat, walau terasa nyata adanya.

"bukan pakde, ini teman saya." dihar ikut tersenyum, menanggapi beberapa basa-basi pemilik angkringan.

"ya sudah mbak, silakan dimakan. keburu dingin nanti."

"iya pak, makasih."

dihar sudah menyendok beberapa saat menyadari tatapan jeno mengarah kepadanya secara intens. bukan sekali dua kali, tapi hampir setiap saat mau mulai makan, jeno menatap dihar dulu.

"kenapa? nih aku gak keracunan kan. makan gih, kalau ngga mau bilang. di bungkus aja." dihar berkata sewot.

"iya-iya ini makan." jeno menyuap nasi gorengnya dengan wajah pasrah.

"gak papa kan?" sambil menyodorkan air putih kemasan, dihar memperhatikan raut wajah jeno. "telan coba,"

"iya, ga mati kok." jeno berucap santai. kembali menyuap sesendok penuh. "lumayan lah, tapi lebih enak buatan bunda."

"iya-iya. yang penting pandangan kamu soal tempat ini sudah berubah. sana lanjut makan."

jeno tersenyum tipis, kembali melahap nasi goreng ayamnya dengan hati-hati. karena jujur saja, ini enak. hanya, dia tidak berani mengaku saat ingat kelakuannya yang tadi menolak mentah-mentah. dia masih mementingkan harga diri.

"jeno, kalau udah langsung aja. aku nyusul nanti." dihar menyelesaikan makannya, langsung berdiri menuju tempat masak, mengeluarkan sejumlah uang dan menunggu pesanan untuk temannya.

jeno yang masih setia dengan piring dan sendoknya tersenyum sukarela. entah untuk alasan apa. hanya saja, saat melihat gadis itu, pikirannya menjadi tenang untuk sesaat.

malam semakin larut, bintangnya mulai terang benderang untuk dilihat dengan mata telanjang. lampu jalan menemani kehadiran dua remaja yang menuntun sepeda bersama, berjalan pulang ke rumah.

rumah yang ini, rumah yang itu, entah definisi rumah yang mana bagi keduanya. singkatnya, satu sedang mencari pelabuhan, satu dengan mencari sandaran akan kehidupan yang melelahkan. tebak siapa dan siapa.

"jeno, kamu pernah dihadapkan pertanyaan 'nanti besar mau jadi apa'?" dihar memelankan laju langkah kakinya, sambil menengok, menatap jeno yang pura-pura berpikir.

"pasti pernah, kujawab asal saja. kadang kubilang ingin jadi astronot, besoknya bilang jadi dokter, lalu tentara, kemudian ahli medis, setelah itu pengacara. macam-macam." jeno menjawab santai.

"kamu.... tidak tertarik menjadi apapun, ya?" dihar memelankan intonasi, menata rambutnya ke belakang.

giliran sang pemuda terdiam. "kadang aku juga ingin punya cita-cita seperti yang lain. tapi, ya bagaimana. nanti masa depanku sudah dicatat rapi oleh ayah. padahal, pasal aku menerima atau tidak tidak ada yang tau,"

jeda sejenak untuk jeno mengambil nafas berat.

"bahkan, saat kubilang aku ingin jadi ahli anestesi, kau mau percaya padaku?"

dihar mencerna baik-baik apa yang dikatakan jeno. boleh ia duga, malam ini sedikit lebih panjang.

"begini dihar, kadang kita harus mengalah. mengalah pada semesta, meyakini skenario yang sudah tersusun adalah yang terbaik." jeno mengangguk mantap, satu tangannya dipakai untuk mengacak rambut dihar. "ngomong-ngomong, kau mau jadi apa?"

"a-aku? aku mau jadi.... apa saja. yang penting uangnya bisa untuk makan."

"kalau begitu jadi pengemis saja. toh uangnya bisa dipakai apa saja."

dihar mencebik, memajukan bibir tanda tak suka. "ngga gitu juga. aku... mau jadi dokter."

"yah, seperti biasa. cita-cita sejuta umat."

"karena dulu ibuku bilang, menyuruhku jadi dokter. atau mencari suami dokter. biar hidup enak."

jeno ikut berhenti saat menyadari dihar tidak berada disampingnya. gadis itu sedang mengusap mata, sambil mengadahkan wajah memandang bulan. jeno memundurkan sepedanya, mengunci cepat.

"kamu mau ceritakan sesuatu?" jeno mendekat, mengusap surai sebahu gadis di hadapannya.

"eh? ga ada yang perlu diceritakan lagi." dihar menjauh, memberi jarak antara tubuhnya dan tubuh jeno. menciptakan sekat.

dihar berjalan bersama sepedanya duluan, meninggalkan jeno yang diam bersama lamunannya. tersadar cepat, jeno ikut menuntun diri menyamakan langkah dengan pemilik rambut pendek.

"intinya dihar, jangan menyerah. tapi ada kalanya mengalah. dan perihal masa depanku, aku memilih mengalah. tidak berlaku untukmu juga. mengerti?"

"kalau aku jadi dokter sungguhan, kau mau kan, jadi pasien pertamaku?" dihar berhenti melangkah, meyakinkan sepatah kata yang ingin ia dengar dari sang pemuda.

"mau, mau sekali. janji?" jeno mengacungkan jari kelingking di depan gadis itu, mengucap janji kecil bersama. meyakini masa depan adalah milik mereka.

kelingking mereka bertauan, tersenyum bersama dalam kehangatan.

malam itu, 6 oktober 2012, mereka berdua di bawah lampu jalanan perumahan kota. bersama, mengikat janji untuk bertemu di masa depan. memendam senang yang dirasa seorang. tebak, siapa yang bahagia?

☾+૰ adipati, property of jenoctopush


[📠] ::
hai hai
have a nice day!

adipatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang