"Adek." Aku mengenggam tangannya dengan erat. Menatap matanya dengan lembut, aku ingin dia tahu betapa aku sangat merindukannya.

"Bang, aku kangen." Balasan dari Kisa hampir saja membuatku menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Mengecup seluruh wajahnya dengan kelembutan dan menyentuh seluruh tubuhnya dengan kegembiraan.

Aku tersenyum, meremas tangannya semakin erat.

Senyum malu-malu yang di perlihatkan Kisa membuatku harus mengertakan gigi. Kesal kanapa dia harus meminta kami bertemu di tempat umum seperti ini. Juga gemas karena aku ingin sekali mencium bibirnya.

Masih saling tatap penuh pemujaan, kami di kejutkan teriakan beberapa orang dari warung tenda.

Belum sempat aku memahami semuanya, sebuah minibus melaju tak terkendali ke arah kami.

Aku berseru, menarik Kisa dan menjatuhkan diri ke samping kiri. Nyaris saja nyawa kami melayang karena kecerobohan sang supir.

Bruk... bruk...

Suara sambung-menyambung benda roboh membuatku menoleh. Beberapa motor yang parkir sejalur roboh dan terguling ke arah kami. Aku melindungi Kisa dengan tubuhku. Memeluknya erat agar dia tidak terluka karena tertimpah motor-motor tersebut.

Sempat berteriak karena punggungku tertimpah motor, akhirnya aku bisa lepas setelah mendapat bantuan dari warga.

"Mas-nya tidak apa?"

Beberapa bertanya padaku, sebagian memaki melihat motornya rusak dan sebagian lagi memaki ke arah pengemudi.

"Saya tidak apa," kataku meski aku meringis menahan sakit di punggung.

Tanpa memperdulikan rasa sakit, aku meyentuh wajah Kisa yang pucat.
"Dek, kamu tidak apa-apa?" tanyaku sembari meneliti setiap jengkal tubuhnya. Tangannya sedikit tergores karena batu jalanan, selebihnya dia baik-baik saja.

"Tidak apa, Bang." Aku tersenyum lega. Sayangnya hanya sekejap, saat Kisa hendak bangkit dia berteriak kesakitan. Memeluk perutnya dengan posesif.

Aku yang tidak tahu apa-apa, sangat terkejut. Mengeluarkan banyak pertanyaan ada apa dan kenapa? Akan tetapi Kisa tidak menjawab, dia terus meringis menahan sakit.

Entah siapa yang memanggil, ambulan datang tidak lama kemudian. Kisa di tandu masuk ke dalam, begitu juga aku dan beberapa orang yang cedera.

Sumpah mati aku sangat panik. Kisa terus-terusan meringis, air mata mengalir dari mata indahnya.

Aku tidak suka melihatnya kesakitan. Aku tidak suka melihatnya menangis. Aku tidak suka jika Kisa bersedih. Aku hanya ingin dia terus tersenyum, tertawa dengan binar penuh bahagia.

Tiba di rumah sakit, Kisa langsung di bawa ke ruang gawat darurat. Aku menunggu di depan pintu dengan gelisah, menolak saat perawat ingin memeriksa dan mengobati luka di tubuhku.

Aku sangat sehat, masih sanggup berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan pintu.

Suara berlarian membuatku menoleh ke sumber suara. Aku menahan napas saat melihat orang tua Kisa ada di sana.

"Setan!!" ayah Kisa memaki. Tak butuh waktu lama kepalan tangannya bersarang di wajahku.

Aku mengaduh, mundur dengan wajah kebingungan. Ayah Kisa masih memaki. Menunjukku dengan marah. Mengusirku agar pergi dari sini.

Tentu saja aku menolak. Aku meminta maaf karena lalai menjaga Kisa, aku juga bertanya baik-baik, tapi ayah Kisa masih tampak murka.

"Kisa bunting, goblok!!" teriak ayah Kisa dengan penuh emosi. "Anakmu." Kali ini suaranya berupa desisan mengerihkan.

Aku mengerjap, terkejut mendapat berita besar tersebut. Beberapa detik setelah kesadaran menghampiri aku berubah panik, mengingat Kisa tadi jatuh terduduk dengan keras.

Aku kembali mondar-mandir dengan lantunan doa. Memohon pada Tuhan agar Kisa dan anak kami baik-baik saja.

"Kapan kau mau tanggu jawab?"

"Segara, saya akan menikahi Kisa segera setelah dia keluar dari sini." Aku menatap mata ayah Kisa dengan sungguh-sengguh. Aku menganggukan kepala, melihat tatapan ragu di mata tua ayah Kisa. Aku terus menatap ayah Kisa untuk menyakinkannya, jika aku akan bertanggung jawab dengan menikahi anaknya.

"Bagaimana dengan istrimu?" Sudut bibir ayah Kisa terangkat, dia menatapku sinis. "Bukankah kalian baru menikah beberapa bulan?"

Aku terdiam untuk beberapa detik.

"Tapi saya tidak peduli, yang terpenting untuk saya, nikahi anak saya secepatnya."

Aku mengangguk paham. "Saya akan mengurus Sebti," kataku. Mengurus bagaimana? Aku tidak tahu. Aku akan memikirkanya nanti, sekarang yang terpenting Kisa dan anak kami.

Aku balik lagi. Nggak ngira akan secepat ini, kirain bakal butuh waktu lama.

Tadi sambil nunggu adzan coba lihat draf. Nulis Om Raga, iseng pindah ke sini. Dan Boomm... bentar aja jadi.

Kekuatan apa, aku juga tidak tahu.

Semangat mungkin.

Ehhh iya, ini kenapa pov Agra balik lagi, itu karena setelah di pikirin. Susah buat bikin cocok sama lanjutan kemarin kalau dari pihak Agra.

Dan di sini terlihat sekali pemujaan Agra terhadap Kisa ya. Harap di maklumi ya, soalnya Agra kan tergila-gila sama Kisa dari zaman batu wkwwk

Perempuan Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang