Akhir Pernantian

22.3K 1.4K 299
                                    

Aku baru sadar, ternyata nukis pov Sebti harus membutuhkan waktu lama dari pada pov Agra yang bisa selesai dalam beberepa jam.

Jadi selamat membaca dan menunggu lagi 😁

====

Pernikahanku dan Kisa tinggal menghitung jam, tapi Sebti masih sangat keras kepala dan ingin kami berpisah.

Tapi aku tetap dengan pendirianku. Meski Mama, Bapak dan keluarga Sebti yang lain memaksaku untuk menyetujui perpisahan kami.

Awalnya aku memang menyetujui itu, tapi begitu mendengar berita jika Sebti juga hamil aku langsung membatalkan persetujuan tersebut. Aku juga ingin menghidupi anakku dari Sebti.

Meski aku tahu sah-sah saja kami percerai sekarang, saat kondisi Sebti tengah berbadan dua. Akan tetapi aku tidak mau. Aku yakin bisa adil dalam berumah tangga.

Bukankah poligami di sah kan dalam agama kami?

Lalu kenapa Sebti tidak mau tahu. Dia masih memaksa.

"Bang," pangilan lemah Kisa membuatku menoleh. Aku tersenyum dan menyambut tangannya. Menarik Kisa lembut, aku mendudukan Kisa di pangkuan.

"Gimana dedek?" Aku mengelus perut Kisa yang sedikit membuncit. Mengusapnya beberapa kali sebelum merayap ke dada Kisa. Meremas dada Kisa gemas aku memberi satu kecupan di perpotongan lehernya.

"Bang Agra." Kisa mendasah. Dia menepis tanganku lalu memundurkan tubuh.

"Ets... tidak boleh," kataku menahan pinggung Kisa. Aku mengeleng, lalu terkekeh saat Kisa cemberut. Menarik tubuh Kisa, aku memasukannya dalam pelukan.

Kami berpelukan cukup lama, aku selalu mengelus punggung dan terkadang memberi kecupan di pipi Kisa, gadis yang sangat aku cintai.

"Bagaimana Mbak Sebti?" 

Aku sempat terdiam mendengar ucapan Kisa, sampai dia mendogak dan menatapku dengan mata berkaca.

Tersenyum, aku mengelus sayang wajah cemasnya. "Mbak Sebti baik-baik saja. Dia sudah setuju kok kalau Abang nikah lagi sama kamu." Aku mengecup sudut bibir Kisa.

"Abang yakin?" Mata Kisa memerah. Oh no, aku tidak mau melihatnya menangis lagi. Kisa mesti bahagia, hidupnya harus selalu dibanjiri dengan tawa.

"Sangat yakin, kamu jangan cemas ya. Kasihan Dedeknya." Aku tersenyum sembari mengusap perut Kisa.

Kisa menganguk lemah. Aku mengecup keningnya lama, berharap Kisa tahu jika aku selalu mendukungnya. Setelahny aku menatapnya, mengusap pipinya lembut sebelum mencium bibir Kisa beberapa kali sebelum menyesapnya. Balasan dari Kisa membuatku berani bertindak lebih.

Pelan-pelan sebelah tanganku masuk ke dalam baju Kisa. Aku menyempatkan diri mengusap perut Kisa secara langsung selama beberapa detik sebelum tanganku kembali berkelana semakin ke atas.

Kisa mendesah saat aku menangkup sebelah payudaranya. Dia bergerak gelisah dalam pangkuanku, membuat sesuatu yang sudah kutahan sejak tadi semakin bangkit.

"Bang Agra." Rintih Kisa.

Tersenyum, aku mengusap-usap payudara Kisa, sebelum mencubit puttingnya. Kisa semakin mengeliat tak terkendali, dia memang selalu seperti ini. Cukup sedikit pancingan dariku, Kisa akan langsung luluh. Begitu juga aku.

"Abang sayang Adek." bisikku menjilat telinga Kisa. Tanganku semakin aktif memaikan payudaranya, ingin sekali rasanya aku melabuhkan bibirku di sana. Mengisapnya putting Kisa seperti biasanya.

Nafsu kami semakin tak terkendali, kecapan dan desahan menyatu bagai melodi.

Aku menurutkan ciuman, memberi jilatan di sepanjang leher Kisa.

"Sa... Kisa."

Suara langkah dan panggilan membuat aku mau tak mau menghentikan aksi nekat kami. Aku menatap Kisa, memeras payudaranya untuk terakhir kali sebelum menurunkan Kisa di sofa.

"Abang ke kamar mandi sebentar," kataku, menepuk pipi Kisa sembari tersenyum menenangkan. Kisa menganguk, dia bangkit dan merapikan penampilan.

"Sa, Agranya di kasih makan dulu. Nanti dia kelaparan." Suara nenek Kisa masih ku dengar jelas.

"Iya Nek. Nanti setelah Bang Agra balik dari kamar mandi."

Aku tersenyum mendengar ucapan Nenek. Nenek benar, aku memang kelaparan, tapi kelaparan dalam artian lain. Dan meskipun Kisa sudah memberiku makan, aku masih sangat kelaparan akan dirinya.

Masuk ke kamar mandi, aku mengeluarkan ponsel yang terus bergetar. Ada beberapa pesan masuk dari Ibu, Ayah, beberapa dari keluarga lain, kenalan dan Sebti.

Mengabaikan semua pesan, aku langsung membuka pesan Sebti.

Aku mendekus setelah membaca isinya. Sebti mengumpat dengan kata-kata kasar, mengancam diriku karena  batal menyetujui perceraian kami. Membuat dia dan keluarganya kesukitan.

Berdecih, aku mengetikan sesuatu di sana. Lalu kembali mengantongi ponselku dan mencuci muka.

"Terima kasih atas restunya, aku dan Kisa akan menikah nanti malam. Kuharap kamu mendoakan pernikahan kami selalu bahagi. Dan satu lagi, aku tidak peduli dengan semua umpatan dan ancama yang kamu kirimkan.

Kamu tetap istriku. Aku tetap akan menolak perceraian meskipun kamu sendiri yang mengurus ke pengadilan. Jadi dari pada kamu lelah, lebih baik kamu banyak istirahat saja. Persiapkan dirimu, karena tidak lama lagi aku akan menjemputmu. Kita akan tinggal bersama. Kurasa akan menyenangkan memiliki dua bayi sekaligus dari dua wanita berbeda."

Usapanku pada wajah sempat terhenti saat mengingat pesan yang ku kirimkan pada Sebti. Sempat menyesal, tapi aku mengabaikan karena ini semua salah Sebti yang membuatku marah dengan umpatan dan makian yang dia kirimkan.

Biarkan saja lah. Nanti aku akan meminta maaf lagi secara langsung. Sekarang aku harus fokus dulu pada Kisa.

====

Akhirnya penantian panjangku terbayar sudah. Kisa sudah resmi menjadi istriku. Banyak sekali cobaan dan masalah yang menghadang kami bersama.

Setelah berkali-kali berpisah, aku sangat beruntung akhirnya Kisa bisa menjadi istriku.

Lupakan Sebti. Hari ini untuk aku dan Kisa.

Tidak banyak memang yang hadir di acara pernikahan kami. Dari keluargaku hanya ada Ayah, Ibu dan kedua pamanku. Dan dari keluarga Kisa juga hanay orang tua dan kerabat dekatnya saja.

Ijab kabul di lakukan sehabis magrib tadi, dan sekarang sudah pukul sembilan malam. Para orang tua memilih membubarkan diri, meski sudah kuminta menginap Ayah, Ibu dan kedua pamanku memilih pulang. Begitu juga dengan keluarga Kisa.

Kini di rumah ini hanya ada aku, Kisa, anaknya dan Nenek yang sudah sedari tadi memasuki kamar.

Aku dan Kisa juga kini ada di kamar, saling tatap dengan penuh pemujaan.

"Kok mukanya merah." Aku mencolek lengan Kisa, dia tersentak, balas menatapku beberapa detik lalu kembali menunduk dengan wajah bersemu malu.

"Adek cantik." Aku menyentuh rambut Kisa, mengusap dan menghirupnya beberapa kali sebelum melepaskan.

Terkekeh aku melihat wajah merona Kisa. Ya Allah, inikah yang namanya bahagi? Beban di dada rasanya menghilang semua begitu aku dan Kisa sudah sah.

Menarik Kisa, aku memeluknya erat. "Kesayangan abang," kataku sebelum mendogakkan wajah Kisa dan melambukan ciuman panjang di bibir favoritku ini.







Ea aku muncul lagi. Segaja up sekarang, setelah buka. Karena takut pada bakal karena emosi baca bagian ini 😂







Perempuan Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang