Pernikahan

54K 1.9K 32
                                    

Aku menarik napas panjang, lalu melirik lelaki di samping dengan sedih. Dia Agra, lelaki yang pagi tadi menikahiku.

Tidak seperti pasangan kebanyakan, kami menikah bukan karena cinta, bukan pula karena sayang. Namun, karena usia. Konyol memang, usia kami yang hampir mencapai angka 28 tahun membuat orang tua khawatir dan memilih mengambil tindakan perjodohan, apalagi setelah teman sebaya atau anak-anak yang lebih muda lebih dulu menikah dari pada kami.

Aku sebenarnya tak masalah, aku masih sabar menunggu jodoh yang diberikan Allah. Tetapi tidak dengan orang tuaku. Mereka khawatir putrinya akan menjadi perawan tua dan mendapat gunjingan warga kampung.

Entah bagaimana cara kerja orang tuaku, tahu-tahu saja seminggu lalu aku diberi tahu jika keluarga Agra akan datang melamar. Tak kuasa menoleh, akhirnya aku menyetujui saja apalagi jika mengingat jasa kakek Agra yang banyak membantu keluargaku saat baru tiba di kampung Baru ini.

Lagi pula Aku dan Agra teman sepermainan saat masih kecil, dan kami selalu satu kelas saat menempuh sekolah dari SD sampai SMA. Tidak akan sulit beradaptasi itu pikirku saat itu, tapi sekarang rasanya aku ingin membuang kembali status istri yang baru saja kusandang saking gugupnya.

Duduk di atas ranjang, berdua dan harum segar dari tubuh masing-masing tercium sangat pekat membuat kegugupanku kian menjadi.

Agra bangkit. “Aku akan tidur di rumah Mama."

"Ah... Apa?" Aku mendongak tak mengerti. "Oh... baiklah."  Setellah aku mengangukan kepala, Agra langsung keluar kamar. Menghembuskan napas lega. Aku bersandar di kepala ranjang. 

Rumah orang tua Agra hanya sekitar 400 meter dari rumah orang tuaku,  sangat dekat bukan. Mungkin itulah sebabnya dia memilih tidur di sana. Lagi pula di rumah ini penuh sesak dengan saudara yang datang dari luar daerah.

"Kak Sebti!" Ketukan dan panggilan terpaksa membuatku bangkit dan membuka pintu kamar.

"Bang Agra mau ke mana?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Dian, adik bungsuku yang tegah hamil anak keduanya. "Pulang ke rumahnya, kenapa?" tanyaku mempersilahkan Dian masuk.

"Kok pulang?"

Aku mengangkat bahu tak tahu. "Sempit mungkin, enggak tahu mau tidur di mana," jawabku sekenaknya.

"Mana ada itu. Kalian kan bisa tidur di sini berdua," ucap Dian. "Telepon gih suruh balik ke sini, enggak enak kalau ketahuan saudara yang lain."

Aku terdiam. Benar juga yang dikatakan Dian. Tidak banyak yang tahu jika kami menikah karena perjodohan, kalau begini ceritanya bisa-bisa satu kampung tahu jika di malam pengantin aku ditinggal seorang diri.

Buru-buru aku bangkit dan menyambar ponsel, lalu terdiam. "Kakak enggak punya nomornya, Di."

"Apa?"

Aku menarik napas panjang mendengar teriakan Dian.

"Gila. Masa nomor suami sendiri enggak disimpan-simpan sih!" serunya protes.

"Namanya juga mendadak. Kakak mana sempat menyimpan nomornya segala. Kamu kan tahu dari dulu Kakak memang enggak pernah punya nomor Agra."

"Ish... Kakak nih."

"Udahlah biar aja, lebih baik kita tidur sekarang. Badan Kakak capek." Aku langsung berbaring dan menutup tubuh dengan selimut.

Dian masih mengomel, mengatakan ini dan itu. Lelah mengomel, aku merasakan tubuh Dian berbaring di sampingku tak lama kemudian napas tenangnya mulai terdengar. Cepat sekali ibu hamil satu ini terlelap. Aku saja yang merasa kelelahan masih tak bisa  terlelap meski mata terus terpejam.

Di dalam hati aku mulai membaca ayat-ayat pendek yang aku hafal, tak berhasil juga beralih menghitung domba dengan pikiran berkelana ke mana-mana. Belum juga terlelap, aku kembali membaca ayat-ayat pendek sampai tertidur entah pukul berapa.

"Kak... Kak Sebti, bangun."

Gonjangan di tubuh, terpaksa membuatku menggeliat dan membuka mata. Suara ribut-ribut langsung terdengar di luar sana.

"Jam berapa?" tanyaku menutup mulut yang menguap.

"Udah jam enam. Cepat bangun, Bang Agra udah dari tadi cuci Dandang tuh."

"Heh...." Aku bangkit terkejut. "Agra udah di sini?"

Dian mengangguk. "Cepetan bangun, cuci muka, bantuin tuh Bang Agra cuci wajan sama dandang."

Bergegas aku bangkit dan keluar kamar. Masuk ke kamar mandi, mencuci muka serta gosok gigi setelahnya aku kembali masuk ke dalam kamar. "Ngapain masih di sini?" tanyaku pada Dia yang berbaring di ranjang sembari memainkan ponsel miliknya.

"Malas keluar."

Aku berdecih sembari mengelap wajah. Setelahnya aku keluar menemui Agra.

Aku tersenyum dan bertegur sapa pada orang yang kulewati.

"Jam berapa sampai sini?" tanyaku begitu tiba di samping Agra.

"Abis subuh," ucapnya membuatku mengangguk.

"Aku siram ya." Aku mengambil air dan menyiram pantat wajan yang sedang di gosok Agra.

"Udah dulu nanti lagi," ucap Agra saat aku terus-terusan menyiram pantat wajan tersebut.

Meninggalkan gayung aku ikut menggosok bagian belakang wajan tersebut. Di kampung ini memang aneh, atau unik. Setiap pasangan pengantin di wajibkan mencuci wajan atau dandang yang digunakan untuk memasak hidangan pesta. Seperti yang aku lakukan sekarang.

Hampir setengah jam kami mencuci, setelah semuanya bersih aku langsung mengambil dua gelas teh hangat dan mencari Agra.

Aku berjalan ke sana-sini mencari keberadaan Agra. Namun, lelaki itu tak tampak juga.

'Masak pulang lagi sih,'

Lelah mencari aku duduk di kursi teras, melihat para warga yang bahu-membahu membongkar tenda. Mengajak bermain keponakanku yang lucu. Menjerit saat rambutku di tarik dan tertawa saat aku berhasil membuat keponakanku menangis sampai dibawa pergi Ibunya.

"Lihat Agra enggak?" tanyaku pada Dian yang baru saja duduk di samping menggantikan Kakakku.

Dia mengangkat bahu dan kembali melanjutkan makan nasi gorengnya.

Menggerutu, aku mengalihkan pandangan dan saat itulah mataku terpaku pada satu pemandangan asing.

30 meter dari tempatku duduk, berdiri Agra dengan seorang wanita cantik. Kisa, adik gelas kami yang dulunya mantan pacar Agra.

Mereka tampak tertawa-tawa bahagia. Aku menyengit, merasakan perasaan tak nyaman di hati.

Ada apa ini?
Kenapa perasaan aku begini?

"Di, kakak tinggal ya," ucapku langsung bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumah, membawa serta dua gelas teh yang telah kosong setelah di minum Kakakku.

Meletakan gelas di atas meja, aku segara mencari kesibukan lain. Membantu membereskan dapur atau apapun itu agar bayangan Agra dan Kisa menghilang dalam angan.

Berjam-jam aku membantu bagian dapur, sampai semua barang-barang seperti piring dan sebagainya kembali ke peradaban mereka, aku baru duduk beristirahat.

"Minum."

Aku mendongak dan terkejut menemukan Agra menyodorkan segelas jus berwarna merah.

"Makasih," ucapku mengambil gelas tersebut dan menenggaknya. Aku sedikit bergeser saat Agra duduk di samping kiriku. Kami terdiam cukup lama, memperhatikan warga kampung yang satu persatu izin pulang pada Ayah dan Ibuku.

"Udah makan?" tanyaku saat melihat Gafa, keponakanku membawa piring kotor.

Agra menggeleng. "Mau aku ambili sekalian enggak?"

Agra kembali menggeleng.

"Yaudah deh, aku tinggal ya," ucapku bangkit dan berjalan mencari makanan.

Tidak sampai lima menit, aku sudah kembali ke samping Agra dengan membawa dua piring nasi.

"Nih."  aku menyodorkan satu piring ke hadapan Agra.

"Aku enggak minta," ucap Agra menatapku dengan kening berkerut.

"Aku tahu, tapi Mama  yang suruh, nih." Aku duduk di samping Agra. "Makan aja sih, belum maka  juga kan?" ucapku sebelum membaca doa dan mulai menyuapi nasi.

Syukurlah Agra mau memakan nasi pemberianku. Kalau tidak, aku pasti akan mendapat omelan dari Mama di tambah Kakak-kakakku.

"Sini sekalian biar aku cuci," ucapku setelah kami menyelesaikan makan.

Agra menyerahkan piring kotor padaku, dia kembali duduk di tempat semula. Sedangkan aku langsung pergi ke tempat cuci piring.

Aku mencuci dengan cepat, setelah selesai aku hendak kembali ke tempat Agra. Namun, tidak ada Agra di sana. Kepalaku menoleh ke sana-sini mencarinya. Tak menemukannya juga aku memutuskan masuk ke dalam rumah.


                       ******

Pukul enam sore, Agra baru kembali terlihat. Aku menarik napas lega sekaligus kesal.

"Dari mana aja?" tanyaku saat Agra baru saja  duduk.

"Dari rumah, kenapa?" tanya Agra mengeluarkan ponsel dan mulai menekan-nekan benda tersebut.

Menghembuskan napas berat. "Kalau mau pergi  izin dulu kenapa, aku pusing ditayain kamu dari tadi."

Agra menoleh, menatapku dengan kening berkerut. "Om sama Bibi kamu udah pada pulang ya?"

"Udah dari sore tadi," ucapku kesal.

Agra tak mengatakan apapun, dia kembali sibuk dengan ponselnya. Diam-diam aku mengupat. Lelaki macam apa yang aku nikahi ini. Menyebalkan sekali dia.

Sabar-sabar

Saat aku sedang mengelus dada, suara Azan terdengar. Aku langsung bangkit. "Udah magrib masuk yuk," ajakku pada Agra.

Agra mengangguk dan bergegas bangkit. Kami berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Bekas-bekas pesta masih terlihat, meskipun sudah di bersihkan tadi.

"Aku mau sholat, kamu ikut?" tanyaku setelah kami tiba di dalam kamar.

Agra menggeleng, dia duduk di dekat kepala ranjang dan menyenderkan punggungnya di sana.

Menggeleng, aku bergegas kembali keluar kamar, meninggalkan Agra yang kembali sibuk dengan ponselnya.

Entah akan seperti apa rumah tangga kami nanti. Aku bukan orang yang taat beragama dan sepertinya Agra lebih parah lagi.










#Bersambung
Belajar nulis pov 1 kalau salah mohon di koreksi ya.

Perempuan Kedua (TAMAT)Where stories live. Discover now