[3] Who?

379 112 21
                                    

Dhika memutar pulpen dengan terus mengukir senyum. Mengabaikan paper yang sedang ia kerjakan di laptop.

"Juno," gumamnya menggigit bibir bawah tanpa sadar.

Pria jangkung berkulit putih dengan alis yang cenderung tebal sudah menarik perhatiannya dari awal bertemu. "Pria Eropa?" tanyanya pada diri sendiri.

"Gue perhatiin dari tadi lo senyum terus. Gak capek? Di kelas pun sama."

Bevin mengambil posisi duduk di samping Dhika, setelah mengambil beberapa buku referensi di perpustakaan SMA Patra Mandiri.

Dhika menyanggah wajahnya dengan sebelah tangan dan menatap lurus. "Jatuh cinta itu bisa buat kita awet muda ya, Bev?"

"Uhuk!"

"Eh?" Dhika menoleh cepat melihat Bevin masih sedikit tersedak. "Kita ke kantin aja yuk." ucapnya kasihan melihat Bevin yang langsung dibalas gelengan.

"Eng-gak usah. In-ni udah gak batuk lagi," balasnya sedikit menormalkan suaranya.

"Syukurlah." lega Dhika.

"Jadi, lo beneran lagi jatuh cinta?"

"Iya. Memangnya kenapa?" cengirnya tersipu malu.

Bevin menyenggol lengan Dhika, sesekali menggodanya. "Cie, baru tahun ajaran baru dengan sekolah baru, udah ada aja yang tarik perhatian lo. Siapa orang yang beruntung itu bisa buat teman gue tersenyum dari pagi sampai mengabaikan papernya."

Dhika tertawa kecil. "Dia bukan dari jurusan kita. Dia anak gedung sebelah."

"Oh, anak IPA toh."

Gadis itu mengangguk antusias. "Namanya Juno, Bev."

"APA?!"

"Hust...."

Bevin spontan menutup mulutnya dan tertunduk malu sedangkan Dhika menggeleng lemah ketika seluruh pengunjung perpustakaan menatap ke arah mereka. "Kamu sih, kayak denger berita apa aja, heboh banget." decaknya.

"Sori, tapi ..." bibir Bevin terasa kelu. "... lo beneran suka sama Kak Juno anak 12 IPA 4?"

"Jadi, kamu tau juga sama dia?!" kini balik Dhika antusias.

"Cantik, tolong kecilkan suara kamu ..."

Bevin mendengus sebal saat Dhika ditegur pelan oleh penjaga perpustakaan, berbanding terbalik dengan dirinya tadi. Memang bukan kali pertama ia mendapatkan perlakuan berbeda. Ini salah satu hal yang sudah sering Bevin terima.

"Maaf, Pak, Bu." balas Dhika sopan dari tempat duduknya.

Dhika mulai fokus memosisikan duduknya berhadapan dengan Bevin. Berharap mendapatkan informasi yang banyak tentang doi.

"... dan lo salah menyukai dia, Dhik."

Tatapan lesu Bevin membuat kening Dhika berkerut. "Kenapa?"

"Dia bukan cowok baik-baik. Dia salah satu siswa yang paling berandalan dan suka buat onar di dalam maupun luar sekolah. Reputasinya masih bisa tertutupi karena menjadi pentolan sekolah. Meskipun, harus ada yang lo tau ..."

Bevin sengaja menggantungkan kalimatnya dan mendekati Dhika yang ikut penasaran.

"Dia sering main ke club," bisiknya yang membuat Dhika terbelalak.

"Lo tau? Basecamp mereka ada di gedung tua belakang sekolah. Di sana mereka sering menghabiskan waktu dengan merokok dan enggak jarang, jalur cepat bolos dari sekolah lewat tembok di sana."

"Enggak ada peran dari pihak sekolah untuk mereka?"

"Pihak sekolah udah sering tegur dan beri mereka sanksi, termasuk buat Kak Juno. Tapi gimana lagi, geng mereka udah kebal dan enggak perduli, apalagi mereka termasuk anak donatur untuk Patra Mandiri ini."

"Kasihan banget," Dhika tertunduk sedih.

Bevin menatap bingung temannya. "Lo kasihan sama Kak Juno?"

"Bukan. Tapi kasihan sama orangtuanya." Bevin menggaruk tengkuknya. "Mereka udah banyak keluarin uang buat masukin anaknya di sini. Sayangnya, anak mereka enggak sadar, kalau uang itu ada untuk mereka yang udah kerja keras dari nol. Ya, meskipun aku tau keluarga mereka mampu, setidaknya Juno dan yang lain tidak usah mengecewakan orangtua masing-masing."

"Percuma, Dhik. Mereka udah berulah dari kelas 10. Enggak ada progress baik yang mereka lakukan hampir tiga tahun ini. Mana kurang dari satu tahun lagi mereka lulus."

"Apa mereka enggak ada kegiatan lain, selain merokok dan bolos. Seperti kegemaran, misalnya."

Bevin tampak berpikir. "Ada sih. Kebetulan Kak Juno atlet taekwondo."

Mata Dhika berbinar. "Serius dia atlet?" Bevin mengangguk pelan, bingung dengan ekspresi gadis itu.

"Udah aku duga. Sebenarnya orang-orang kayak mereka itu hebat. Mungkin, ada hal lain yang membuat mereka menutupi hal tersebut. Mereka lebih mau mempublish sesuatu yang jelek di banding mempertontonkan hal yang mereka anggap tidak perlu."

"Setelah gue bicarain semua tentang Kak Juno, lo tetap suka sama dia?"

Dhika mengangguk cepat. "Aku enggak perduli siapa dia. Bagaimana pun, setiap orang itu terlahir baik dan memiliki pribadi lembut. Hanya saja kita terlalu dibodohi sikap yang mereka buat.

**

Ketiga perawat yang bergerombol di depan meja resepsionis itu menatap kagum pada dokter laki-laki yang tengah berjalan melewati mereka hingga hilang di dalam lift.

"Sumpah, dokter Julian ganteng banget!" pekik salah satu perawat yang tengah menutup wajahnya dengan berkas.

Julian memang menjadi pusat perhatian setelah seminggu ini dia pindah praktik sementara. Iya, lelaki itu menjadi dokter tamu selama beberapa bulan, sebelum ia kembali ke Jerman.

"Sayangnya dia udah jadi suami orang," balas perawat satunya dengan tatapan lesu.

Sedangkan, perawat cantik satunya tengah tersenyum miring. Ia begitu terpesona dari awal pertemuannya dengan Julian ketika seluruh dokter baru dan dokter tamu berkumpul di aula.

"Eh, ngelamun aja lo." balas rekannya menyenggol gadis itu. "Lo enggak ngelamunin dokter Julian sampe ke akar-akarnya, kan?" sarkasnya.

"Kalau iya, kenapa?" tanyanya balik begitu angkuh.

Rekan mereka yang paling pendek dengan tinggi 160 senti itu menyahut, "Nadine! Lo jangan gila deh. Mau dicap sebagai pelakor? Inget! Dokter Julian itu udah punya anak dan istri."

Gadis itu mengedikkan bahunya. "Terus apa hubungannya?"

"Gila!" sahut temannya itu tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nadine. Perawat bertubuh ideal dengan pancaran kecantikan yang bisa dengan mudahnya menggaet para pria manapun-termasuk Julian.

"Kalian dengerin gue ya, dokter Julian itu mapan dan masih awet muda. Umurnya bahkan belum sampai setengah abad. Lagian, dia juga enggak mungkin betah sama istrinya yang sudah enggak kencang lagi." ucapnya begitu kasar.

"Siapa yang lo bilang, Nad? Lo harus tau kalau istrinya dokter Julian itu perfect. Mereka couple sempurna. Istri dokter Julian bertitle dengan predikat cumlaude dan jadi dosen di UI. Jika di bandingkan, enggak ada apa-apanya lo dan istri dokter Julian yang sedang melanjutkan Program Doktor." balas rekannya dengan tinggi yang sama seperti Nadine.

Mungkin mereka sama-sama mengagumi Julian. Namun, hanya Nadine yang sudah tidak waras di antara mereka dan sebentar lagi akan menjadi pelakor bagi hubungan Julian dan Olyn. Tidak. Gadis itu sudah memulai dari awal pertemuan. Di mana, di awal pertengkaran SMS yang membuat Olyn sempat mencurigai Julian.

"Whatever,"

Nadine justru melenggang santai menuju ruang perawat untuk melihat jadwal shift. Ia tidak memedulikan siapa pun, termasuk rekan kerjanya dari awal mereka masuk menjadi newbie.

**

GADIS INDIA KWWhere stories live. Discover now