Hijaber 24

3.2K 181 0
                                    

Happy Reading ❤

"Permisi, boleh saya berbicara sebentar mengenai kondisi ananda Naya?" tanya dokter yang selama ini menangani kondisi Naya.

"Baik, Dok." Hanna dan Erwin mengekor di belakang dokter yang diketahui bernama Arifin tersebut. Dokter muda yang memiliki segudang bakat. Selain menjadi dokter, ia juga seorang pengusaha.

Dokter Arifin mempersilahkan tamunya untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Ia mencari sesuatu di tumpukan kertas yang berada di atas meja, setelah ia menemukan, dokter Arifin mengembuskan napasnya perlahan.

Sebuah senyuman tercetak di bibir manisnya. Melihat dokter Arifin tersenyum, Hanna dan Erwin juga tersenyum. Itu tandanya keadaan Naya akan baik-baik saja, pikirnya.

"Jadi begini," ucapannya menggantung, membuat Hanna menatap Arifin dengan khawatir.

"Ibu sama Bapak tenang saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai kondisi Naya. Dia baik-baik saja, bahkan perkembangannya semakin baik. Saya salut banyak orang yang menyayangi Naya, sehingga keadaannya semakin baik," kelakar dokter Arifin yang membuat kedua orangtua Naya senang mendengarnya.

"Tapi putri saya kenapa belum sadar ya, Dok?" tanya Hanna.

Dokter Arifin tersenyum, "Jadi begini, benturan di kepala Naya sangat keras, itu yang menyebabkan Naya mengalami koma. Tapi, Bapak sama Ibu tenang saja, Insya Allah beberapa waktu lagi Naya akan sadar dari komanya,"

"Dan saya juga belum bisa memastikan apakah Naya akan mengalami hilang ingatan ataukah tidak," lanjutnya.

"Hilang ingatan?" Hanna mulai panik mendengar pernyataan dokter Arifin.

"Saya sarankan Bapak dan Ibu bantu doa. Saya sebagai manusia hanya bisa berusaha, kita kembalikan lagi kepada Allah."

"Baik, Dok. Terima kasih atas usaha Dokter," ucap Erwin.

"Sama-sama, Pak, ini sudah tugas seorang dokter seperti saya." Arifin mengulum senyum.

***

"Om Erwin sama tante Hanna ke mana ya, kok Naya ditinggal sendirian." Eza bingung lantaran tidak ada seorang pun yang menjaga Naya. Saat Eza hendak duduk, terdengar suara kenop pintu terbuka dibarengi dengan datangnya orangtua Naya. Keduanya kaget melihat Eza tengah duduk di samping ranjang Naya.

"Dari kapan di sini, Za?" tanya Erwin.

"Hehe, baru saja kok om. Baru 2 jam yang lalu." Eza terkekeh.

"Apa kita pergi sudah 2 jam yang lalu?" tanya Hanna kepada sang suami.

"Nggak kok, baru 15 menit kayaknya."

Eza kembali terkekeh. "Nggak kok, Eza baru saja nyampe."

"Ah, kamu tu, Za."

"Btw, Om sama Tante dari mana?" Eza nampak mulai serius.

"Barusan ketemu dokter."

"Oh ya, apa kata dokter?"

"Dokter bilang, dia mau lamar Naya besok," goda Erwin. Raut wajah Eza berubah seketika mendengar pernyataan pria paruh baya itu. Ia menelan salivanya, jantungnya berpacu sangat cepat. Seperti ada petir yang menyambar tubuhnya.

Suara tawa menggema di telinga Eza, ia tersada dari keterpakuannya. Hanna terkekeh seraya duduk di sofa berwarna cokelat. Eza mengembuskan napasnya lega sembari mengusap wajahnya.

"Om ... " geram Eza.

"Ma, Naya haus." Mendengar suara, Eza, Hanna dan Erwin pun terkejut, segera ia menghampiri Naya yang terbaring di ranjang rumah sakit.

"Sayang ... " Hanna mengenggam tangan Naya. "Ambilkan minum," perintah Hanna.

Eza pun segera mengambilkan segelas air putih yang tersedia di meja, lalu ia berikan kepada Hanna. Hatinya sangat bahagia saat ini melihat mata Naya kembali terbuka.

Erwin segera memanggil dokter untuk melihat kondisi putrinya. Jalannya tergesa-gesa namun, senyuman tidak pudar dari bibirnya. Rasa letih tidak ia hiraukan lagi, kini rasa itu telah tergantikan dengan rasa bahagia saat melihat putrinya membuka matanya yang sangat indah.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang