Hijaber 15

4.3K 244 0
                                    

Naya merapalkan doa kepada yang Maha Kuasa dengan mukena yang masih membalut tubuhnya. Kewajiban sebagai seorang muslimah ia laksanakan dengan rutin sesuai dengan perintah Allah SWT. baginya tidak mengerjakan sholat sekali saja rasanya ada yang kurang, merasa gelisah atau sebagainya.

Saat ia hampir menyelesaikan berdialog dengan Sang Maha Pencipta, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan disusul dengan panggilan mamanya.

"Nay, ada teman kamu tu nunggu," kata Hana memberitahu.

Naya manautkan alisnya, berpikir sejenak lalu bertanya kepada mamanya yg berada di luar kamar.

"Siapa, Ma?"

"Eza."

Naya sedikit membuka mulutnya, ia tak percaya bahwa Eza yang bertamu malam-malam.

"Nay, buruan."

"Eh, iya Ma, bentar."

Setelah memakai hijabnya ia menuruni anak tangga dengan hati-hati, sesekali ia melihat ke arah ruang tamu tempat Eza duduk dan berbincang dengan kedua orang tuanya. Perlahan ia mengembuskan napasnya guna menetralisir detak jantungnya yang mulai mendobrak-dobrak.

"Nay," sapa Eza saat melihat Naya mulai mendekat ke arah mereka.
Yang membuat Naya heran adalah saat Eza memberikan senyuman kepada Naya, senyuman yang tak pernah Naya lihat. Naya menelan salivanya susah payah, jantungnya semakin tak karuan.

"Nay, sini, ngapain kamu berdiri di situ?" ujar Erwin.

"Iya, Pa." Naya salah tingkah saat melihat mata Eza tengah menatapnya. Naya mengusap matanya sebelah kanan untuk menyamarkan salah tingkahnya.

"Ya sudah, Papa sama Mama ke dalam dulu ya." Hana dan Erwin pun meninggalkan ruang tamu, namun kedua orang tua Naya tak benar-benar pergi jauh dari ruang tamu, biar bagaimana pun kedua remaja yang belum memiliki ikatan harus dalam pengawasan orang tua saat sedang bersama.

Keheningan tercipta diantara mereka, tak seorang pun yang ingin membuka percakapan. Entahlah, mungkin mereka sedang sibuk dengan mendamaikan jantungnya yang sedang rusuh.

Eza yang biasanya diam dan tak pernah membuka percakapan pun akhirnya berdeham. ia merasa bosan jika terus-terusan berada di suasana seperti ini. Jangankan Naya yang merasakan perbedaan sikap Eza, Eza pun juga merasakan hal yang sangat berbeda, ia berasa sudah keluar dari zona nyamannya. Tapi, hanya jika bersama Naya perubahan itu ia rasakan, bahkan sangat terlihat.

Naya mendongakkan kepalanya, ia menatap Eza dengan tanya.

"Besok kamu ada acara nggak?" tanya Eza dengan memainkan jari-jari tangannya.

Yang ditanya pun nampak berpikir, ia mengingat-ingat apakah ada agenda di hari esok.

Setelah mendapatkan jawaban Naya pun menggelengkan kepalanya, tanda tidak adanya agenda.

"Oke. Kalau gitu aku pulang."

"Gitu doang?" tanya Naya, terlihat ekspresinya yang kesal. Cowok itu telah membuat waktunya terbuang percuma. Hanya bertanya seperti itu saja sampai datang ke rumah malam-malam. Apakah tidak bisa bertanya diponsel saja?

Eza tak menjawab pertanyaan Naya, ia berdiri dari duduknya, Naya pun juga ikut berdiri.

"Aneh!" celetuk Naya.

Namun, cowok itu seakan menutup kedua telinganya.

"Assalamu'alaikum." Tubuh cowok itu tidak terlihat lagi oleh iris matanya. Naya mengepalkan telapak tangannya lalu melambungkannya ke udara seakan ia sedang meninju seseorang.

Ingin rasanya ia mencakar wajah tampan milik Eza. Percuma saja tampan kalau otaknya tidak waras.
Naya menutup pintu agak keras, membuat papa dan mamanya yang berada di meja makan menoleh.

"Kenapa, Nay?" tanya Hanna kepada putri semata wayangnya itu.

"Barusan orang gilanya pulang."

"Eza maksud kamu?" Kini Erwin yang bertannya.

"Iya siapa lagi." Naya menarik kursi yang berada di hadapan Erwin.

"Masa dia ke sini cuma nanya besok aku ada acara atau nggak?" adu Naya.

"Serius?"

"Iya, Ma, serius." Naya menyakinkan kedua orang tuanya. Kelakuan Eza benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya dia seperti itu, seakan ia sedang mempermainnkan Naya.

Paras memang tak menjamin sikap, dengan paras yang tampan ataupun cantik tidak menjamin bahwa akan baik pula sikapnya.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now