The Day You Went Away

2.1K 185 7
                                    


Cyan membolak-balik tubuhnya di kasur. Sesekali menarik napas panjang, lalu dengan cepat ia mengembuskannya lagi. Beberapa kali ia lakukan itu agar impitan di dalam dadanya bisa menjadi lebih longgar.

Sudah tiga jam merebahkan diri, tapi matanya sama sekali belum bisa terpejam. Pikirannya masih terngiang setiap ucapan yang seolah terasa ringan meluncur saat menanggapi pesan Alex yang masuk di segmen sobat malam. Ada sesal menjalar, berat, hingga membuat napasnya agak tersengal.

Hey
So much I need to say
Been lonely since the day
The day you went away
So sad but true
For me there's only you
Been crying since the day
The day you went away
[M2M - The Day You Went Away]

Meraih ponsel di atas nakas, Cyan melirik jam di layar yang menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Sembari M2M dengan The Day You Went Away diputar melalui ponsel, sekeping ingatan kembali menyelinap dalam sepi.

Bulan kesembilan tiga tahun lalu, beberapa hari setelah perayaan ulang tahunnya ke-23, tepat minggu malam. Bibirnya terkatup erat di depan laki-laki yang menunggu jawaban. Pelukannya begitu hangat. Rengkuhan yang tidak akan pernah bisa ia rasakan lagi. Derasnya hujan saat itu mewakili hatinya yang kian bergemuruh seakan ingin melesat keluar jauh dari apa yang ada di hadapannya. Kejujuran yang tidak pernah bisa dia ungkap hingga sesuatu lebih besar memaksanya keluar dari perangkap keindahan semu yang namanya cinta.

Cyan harus mengikuti nalar yang sangat pahit, menunjukkan bahwa sampai kapan pun tidak boleh ada perempuan lain yang tersakiti demi kebahagiaannya. Gusar. Sakit yang pernah ia rasakan, harus kembali dirasakan. Menggeleng pelan, dua bulir air mata menetes di pipi, dan ucapan itu meluncur begitu cepat dari mulutnya tanpa berpikir bahwa ia harus siap kehilangan.

"Aku harap hari ini kau bahagia," gumamnya dengan mata terpejam menahan sesak di dada.

Bayangan cincin yang dilempar keluar balkon melintas sebelum dengan cepat ia mengusap pipi dari rembesan air mata.

***

"Eh, besok ini kita jadi mengundang BHC, kan?" Magenta merapikan meja dan menghabiskan es teh yang disediakan Mbak Vio di mejanya.

Tristan mendongak dan mengangkat alis, mengiakan pertanyaan Magenta.
"Gue udah informasikan ini," Tristan menyesap minuman dingin di depannya. "Dan sebaiknya dalam waktu dekat kalian atur pertemuan dengan BHC Semarang. Lo punya nomor Farel, kan?"

"Farel??!" Magenta membelalak.

"Iya. Farel Marcellino."

"Gila. Memang nggak ada perwakilan BHC selain dia??"

"Sejak gue pindah ke Jateng, Farel yang koordinir BHC Semarang."

"Kenapa lo nggak kasih tau gue kalo event ini bakal berhubungan dengan laki-laki brengsek itu, Tristan?"

Tristan mengalihkan pandangan dari layar laptop. Di depannya berdiri perempuan bermata belok kian membelalakkan matanya. Senyum yang biasa menghias wajah tirusnya, terlebih saat mereka sedang berdua, kali ini hilang, berganti dengan dahi berkerut dan alis yang bertaut.

Untuk pertama kalinya Tristan melihat Magenta begitu emosi. Perempuan yang ia kenal sangat tegar, kini meneteskan air mata.

"Wait. Ada sesuatu yang gue belum tahu, ini." Tristan beranjak dari kursinya, dan kini ia bersandar di meja, tepat berhadapan dengan Magenta. Ia menatap perempuan di depannya seraya bersedekap.

"Sebenarnya gue males bahas ini."

Magenta mendesah lalu menyibakkan rambutnya ke kiri. "Buat gue dia hanya laki-laki yang nggak bisa berkomitmen."

Kali ini Tristan melebarkan mata dan sedikit menunduk supaya wajahnya sejajar dengan perempuan mungil di depannya.

"Why? Tell me something ...," bisik Tristan. " ... Dean Annora."

=======

AM to FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang