Fans (?)

2.1K 178 0
                                    


Studio spekta menjelang malam masih sangat ramai. Langit yang perlahan berubah menjadi jingga dan semburat warna pelangi terlihat membentuk busur, membuat sore semakin sempurna. Pun bagi Cyan dan Magenta yang baru tiba. Mereka menghampiri kru yang terlihat sedang asyik bercengkerama sambil sesekali menyeruput minuman di hadapannya.

"Lo nggak siaran?" tanya Magenta pada penyiar lain yang seharusnya ada di ruang siar.

"Iya. Gue cuma melipir bentar, cari minum. Ini mau balik ruang," jawabnya seraya membuka air mineral kemasan. "O, ya. Kayanya tadi ada yang nyariin lo deh, Cyan," tambahnya.

"Hah? Nyariin gue? Siapa?"

Penyiar itu mengangkat bahu dan menggeleng. "Kayanya dia masih di dalam, tuh."

Cyan mengerutkan alis seraya melongok dari kejauhan berusaha menemukan seseorang yang dimaksud oleh salah satu penyiar tadi. Namun yang ia lihat, tidak jelas.

"Mag, lo ke sana deh. Bilang aja gue belum datang."

"Nah, barangkali itu fans lo. Masa nggak lo tanggepin, sih?"

"Udah, lo bilang gitu aja."

Magenta melihat ke dalam kantor, lalu menatap mata Cyan, bergantian. "Gue makin heran, deh."

"Mag, gue nggak mau fans melihat siapa gue. Biarkan mereka tetap dalam imajinasinya terhadap seorang Cyan, bukan Ayu."

"Lo nemuin mereka kan nggak lantas bayangan mereka tentang lo berubah, Cyan?"

"Udah, gue tetep nggak mau. Nggak ada aturannya kan, penyiar harus mau menemui fansnya?"

Magenta menghela napas panjang, lalu mengikuti kemauan Cyan. Sebenarnya bukan hal yang wajib untuk seorang penyiar menemui fans. Pun bukan hal yang aneh, ketika mereka enggan menemuinya. Tetapi Magenta menangkap sesuatu yang berbeda dalam sorot mata Cyan ketika terkejut. Itu bukan semata-mata enggan merusak imajinasi, melainkan rasa takut.

Seorang laki-laki berbadan tegap, pun saat ia masih dalam posisi duduk mengenakan kaos putih dan celana jins biru tua. Sekelebat saja orang melihatnya akan berpikir dia masih muda. Tetapi rambutnya yang tidak lagi hitam sempurna dan beberapa guratan alami yang tertoreh di wajahnya terlihat jelas ketika Magenta berhadapan dengannya, menunjukkan bahwa usianya sudah jauh lebih dewasa.

"Roy," ujarnya seraya berdiri dan mengulurkan tangan.

"Saya Dean Annora, Bapak." Magenta menanggapinya dengan semringah. "Oh, ya. Tadi temen saya bilang, Bapak cari Cyan, ya?"

Laki-laki itu tersenyum, matanya berbinar dan menganggukkan kepala. "Ya, bener, Mbak. Saya sangat senang mendengar suara Cyan. Boleh saya bertemu dengannya?"

Magenta menurunkan bahu dan menarik sudut bibir ke bawah. "Wah, boleh banget, Pak. Tapi sayang sekali, Cyan belum datang."

"Oh. Begitu ya, Mbak?" Roy melirik jam di tangannya. "Jadi, dia datang jam berapa ya, Mbak?"

"Wah, saya nggak tau pasti, Pak. Biasanya sih, penyiar datang selambat-lambatnya sejam sebelum jam siaran." Magenta menjelaskan.

"Baiklah. Nggak apa-apa, Mbak. Saya tunggu." Laki-laki itu kembali duduk.

"Tapi masih tiga jam lagi lho, Pak."

Roy melirik jam di tangannya, "Dua."

Magenta menarik napas. Sambil memikirkan cara untuk membuat Roy pulang, Ia berjalan ke pintu dan melirik keluar kantor. Cyan masih terlihat di sana, duduk di cafe. Entah apa yang sedang Cyan pikirkan saat itu, Magenta hanya ingin memastikan Roy tidak bertemu Cyan.

"Boleh saya minta tolong?" tiba-tiba Roy menghampiri Mag yang pandangannya belum beralih dari Cyan di cafe.

========

AM to FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang