Lunch

2.1K 181 0
                                    

"Lo ngapain?"

Magenta menangkupkan kedua tangan di mulut dan terdengar tawa yang ditahan, melihat Cyan asyik menikmati setiap entakan yang keluar dari speaker.

"Sejak kapan lo di sini?"

"Sejak kepala lo terlihat elastis dan fleksibel mengikuti Who Do You Love? - nya The Chainsmoker."
Mag menggeser kursi, duduk di depan Cyan dan memanggil pelayan untuk meminta daftar menu.

"Gue spaghetti saus ayam jamur. Minumnya ... es marem. Lo apa?" Mag memutar buku daftar menu dan mengarahkannya ke Cyan.

"Gue nasi goreng, deh, yang seafood yah. Minumnya jus alpukat."

"Nasi goreng, oh nasi goreng...," Mag bergidik.

Cyan terkikik.
"Lagian lo aneh. Nasi goreng kok nggak suka," ujar Cyan setelah mengembalikan daftar menu kepada pelayan.

Magenta mengangkat bahu.
"Entah. Setiap kali gue membayangkan nasi goreng masuk ke mulut, pasti selalu...," jelasnya sambil sesekali bergidik dan mengibas-ngibaskan tangan di depan mukanya sendiri untuk membuang mual karena terbayang ribuan belatung yang licin dan bergerak-gerak masuk ke mulutnya.

"Oh, ya? Ceritain dong. Kok bisa begitu, sih?"

"Ah, lo mengorek kenangan yang membuat gue mual."

"Kepo, gue. Soalnya nasi goreng ini kan makanan sejuta umat. Kok bisa lo kebayang belatung?"

"Jadi, waktu gue kecil itu, tinggal di desa bareng keluarga Bu Dhe," Mag memulai cerita. "Nah, hampir setiap pagi, sarapan gue dan sepupu-sepupu yang lain ya nasi goreng. Lebih tepatnya nasi yang digoreng pakai campuran telur dan bumbu masak." Mag menghentikan ceritanya dan menenggak air putih untuk menghilangkan mual.

"Sampai suatu ketika, saat suapan ke sekian ... Itu sebelum masuk mulut, ya. Gue lihat ada yang gerak-gerak di sendok gue. Entah dari mana, nggak ada yang tahu. Tapi setelah itu, gue paling ogah sama yang namanya nasi goreng." Magenta menelan ludah seolah hendak muntah.

"Ah, ya sudahlah. Jangan lo bayangin. Nah, sekarang lo mau ngomongin apa sih?"

Magenta menggeleng kecil lalu merogoh handbag. Jemari lentiknya mengeluarkan dua lembar kertas berukuran agak panjang dan menyodorkannya ke depan Cyan.

"Jikustik??" Mata Cyan berbinar, tetapi sesaat kemudian ia menghela napas dan kembali memutar-mutarkan ponsel di tangannya.

"Lo nggak suka?"

"Gue suka. Suka banget, Mag. Bahkan sejak dulu gue sering bermimpi bisa menyanyikan lagu kesukaan gue dengan bebas ketika Pongky sedang mengeluarkan suaranya di atas panggung."

"So...?" Mag mengernyitkan alis. "Gue dapet beberapa tiket ini sejak beberapa hari lalu, Cyan. Dan karena gue rasa lo pasti suka segala hal yang berbau musik, termasuk konser, sengaja gue sisihkan ini dua lembar."

"Sorry, Mag. Tapi gue ...," Cyan menggantung perkataannya dan mengeratkan bibirnya.

"Oke, oke. Gue rasa lo pasti punya alasan yang tepat kenapa menolak pemberian gue." Mag memasukkan kembali dua tiket jikustik ke dalam handbagnya.

"Sorry, Mag ...," Cyan memegang tangan Mag sebagai tanda penyesalan.

"It's okay." Mag menarik sudut bibirnya ke atas.

Setelah menarik napas panjang, Mag tersenyum dan beralih mengucapkan terima kasih kepada pelayan untuk makanan yang sudah mendarat aman di depan mereka berdua.

"So, Cyan. Kemarin di Gombel. And now, about concert. Why? Boleh gue tahu sesuatu?"

Cyan memutar kedua bola matanya beberapa kali, lalu melirik ke plafon, menelan ludah, dan menggigit bibir bagian bawah. Beberapa saat kemudian ia terkikik, seraya menahan diri agar bendungan di matanya tidak jebol.

"Oke. Sekali lagi gue ingetin, ya. I'm still here for you. Ceritain apa pun yang membuat hidup lo berat, apa pun yang mengusik pikiran lo. Nyampah aja ke gue. Asal lo tenang. Jangan pernah takut, seember-embernya gue, bisa dipastikan hanya berisi cerita tentang diri gue sendiri." Mag menggulung spaghetti dan memasukkannya ke dalam mulut.

Cyan mengaduk-aduk nasi goreng di hadapannya dan tersenyum. Pertemuannya dengan Magenta memang aneh, tetapi seolah Tuhan menempatkan Magenta sebagai sahabat yang setidaknya bisa membuat Cyan tidak benar-benar sendiri.

=====

AM to FMWhere stories live. Discover now