Prolog

12.7K 655 31
                                    

Ayudya kembali menginjakkan kaki ke kota yang sudah memberinya banyak kenangan manis sekaligus pahit, setelah dia berusaha pergi, eh, lebih tepatnya dipaksa pergi jauh agar melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya. Alih-alih melupakannya, di kota yang sama, Ayu justru selalu berharap bisa bertemu dengannya dan kembali mengulang masa-masa indah bersama. Bukan sekadar karena mencintainya, namun hanya dengan laki-laki yang biasa dia panggil Farel, Ayu bisa menjadi diri sendiri apa adanya.

Well, seumur-umur Ayudya nggak pernah kepikiran bakal menjadi seseorang yang sangat berbeda, hanya dalam waktu tidak lebih dari empat tahun. Jantungnya selalu berdebar kencang seakan berusaha menjebol benteng pertahanan, ketika harus berhadapan dengan banyak orang. Telapak kaki dan tangannya selalu terasa dingin saat mendengar kata pesta. Bahkan kornea mata Ayu seolah berkeliaran ke sana kemari acapkali nama Farel Marcellino berkelebat di pikirannya. Padahal, jauh sebelum pergi meninggalkan kota, hampir semua yang mengenal Ayudya Maheswari memberi julukan ratu pesta, kepadanya. Bersama pasangannya, yang bernama Farel Marcellino, Ayu gemar menghabiskan malam dalam suasana penuh gemerlap. Itu membuatnya benar-benar menjadi diri sendiri.

Bagi Ayu, tidak ada seorang pun yang bisa memahami betapa ribetnya pikiran dan hati, kala mereka berdebat mempertahankan pendapat. Di satu sisi Ayu ingin tetap menjadi perempuan bebas bernama Ayudya Maheswari, namun sisi yang lain memaksanya diam dan menjadi pribadi yang berbeda.

"Bagaimana mungkin kebebasan itu bisa kembali kudekap, ketika separuh hatiku lenyap entah ke mana dan sebagian lainnya pergi, takkan pernah kembali," gerutunya sambil meninju dinding kamar yang memisahkan kamarnya dengan ruang kerja ibu Tjandra Hadikusuma. Sontak Mami terkejut dan berteriak memanggil Ayu.

"Iya! Aku nggak apa-apa, Mi!" balas Ayu.

Tangannya sedikit gemetar menahan kejengkelan yang tak terungkap. Ia meraih spidol dan menggoreskannya di atas secarik kertas, menggambar sesuatu berbentuk kotak.
"Coba saja kamu bayangkan ada kotak besar di depanmu. Kemudian datang seseorang yang pernah melahirkanmu, memaksamu masuk dan berdiam di dalamnya, untuk waktu yang tidak pernah ditentukan," jelasnya kepada diri sendiri. "Orang itu hanya memberi satu lubang sebesar pantat botol kecap, di bagian atap agar kamu masih bisa bernapas, tanpa pernah bisa menikmati udara bebas." Ayu mengentakkan spidol, lalu membantingnya.

"Anehnya, bodohnya, aku cuma bisa manggut-manggut mengiakan kemauan Mami, meski hatiku tersiksa karena tidak bisa memiliki dua orang yang sangat kucinta. Eh, tunggu. Bukan dua, tapi tiga." Ia melanjutkan seraya membawa tubuhnya ke kamar mandi.

"Demi aku yang telah bersusah payah melahirkanmu dan membesarkanmu seorang diri, jangan pernah kau temui laki-laki itu lagi." Suara Mami kembali menggema di dalam rumah.

Entah ada ilmu telepati apa, tetapi setiap kali ingatan tentang Farel menyelinap di sela-sela aktivitas Ayu, dengungan suara dan sorot tajam mata Mami selalu berhasil membuat Ayu tidak bisa berkutik.

Besarnya keinginan untuk melawan perintah Ibu Tjandra Hadikusuma, tidak lebih kuat dari ketakutannya menghadapi sikap kekanak-kanakan perempuan yang telah melahirkannya itu. Dia tidak akan segan melukai dirinya sendiri, ketika Ayu, anak satu-satunya enggan mengikuti kemauannya.

Kalo ada tokoh yang sedang digandrungi anak muda zaman sekarang bilang, "Rindu itu berat, nanti kamu nggak kuat, biar aku aja."
Ayu cuma bisa meringis ketika mendengar itu. Baginya tidak ada kerinduan yang lebih berat daripada merindukan orang yang sudah pergi untuk selama-lamanya. Rindu sebenarnya ada hanya untuk disimpan dalam hati.

Ayu mengakui bahwa mengumbar rindu itu percuma. Toh orang-orang terdekatnya tidak pernah menganggap dia punya hati dan bisa merasa. "Jadi, biarkan saja mereka tidak tahu bahwa aku juga punya rindu."

Setelah semua kejadian yang pernah menimpanya beberapa tahun silam, Ayu yakin bahwa ia harus bisa menunjukkan siapa dirinya, tanpa orang lain tahu Ayudya itu dia. Sekadar untuk melupakan semua yang telah terjadi sambil berharap akan menemukan sesuatu yang baru.

Ayudya bergegas mematut diri di depan cermin, memadankan kaos putih polos dengan kemeja merah yang terbuka kancingnya, serta celana jeans biru kebanggaan. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, tangannya dengan cekatan menyambar bungkusan nasi goreng sembari bergegas menuju PT. Intra Spekta Indonesian Broadcasting.

Perjuangan Ayu menjadi seseorang yang sangat berbeda sudah dimulai ketika kembali ke kota sejuta kenangan dan semakin penuh drama setelah diterima bekerja sebagai penyiar.

Ayu tetap bisa menjadi sisi dirinya yang ceria, meski dengan nama yang berbeda. Orang akan mengenalnya sebagai Cyan, si gadis biru terang yang bahagia, atau justru penuh sandiwara? Entahlah.

AM to FMWhere stories live. Discover now