💢 Sang Fajar 💢

1.4K 18 8
                                    

Jika orang lain lebih menyukai senja, maka aku sebaliknya. Aku lebih menyukai fajar, yang mampu membuatku terhanyut dalam khayal untuk memulai sebuah cerita di awal hari yang indah. Hingga pada akhirnya, aku lupa bahwa, kehidupan akan berjalan selayaknya kenyataan, bukan selayaknya khayalan.

Namun, mengapa bisa aku tidak menyukai senja? Padahal, senja takkalah indah pula dari sang fajar? Maka jawabannya, ialah karena senja telah mengajarkanku akan perpisahaan dan kerelaan, seperti petang yang akan tergantikan oleh gelapnya malam.

Meski aku tahu, disetiap pertemuan pasti ada perpisahan, tapi itulah sebabnya mengapa aku menjauh dari yang namanya pertemuan, karena diriku terlalu takut untuk bertemu pada sebuah perpisahan.

Sebut saja aku lemah, tidak mengapa. Aku menyadari, kelemahanku yang begitu payah. Mungkin itu juga merupakan hal yang memalukan, tapi apalah daya, terlalu banyak peristiwa yang telah membuatku resah hingga hatiku kian diliputi rasa gelisah.

Kini aku melangkah, berjalan perlahan di atas rerumputan hijau segar dengan balutan embun sejuk di dini hari. Sembari terpenjam, aku tersenyum lembut, lalu melayangkan kedua tanganku ke samping dengan lebar dan menarik napas panjang, setelah itu mengeluarkannya dengan tenang.

Perfect! Ini sungguh menyenangkan.

Aku tersenyum puas. Dan setelah menunggu beberapa saat, mentari mulai keluar dari tempat persembunyiannya, membuat aku segera berbalik melangkah kembali menuju rumah yang selama ini menjadi tempatku berlindung bersama keluarga.

***
Aku baru saja tiba di rumah. Dan mataku langsung mengarah pada bunda yang saat ini tengah membaca buku kesehatannya seperti biasa di ruang keluarga. Aku pun melangkah ke arahnya dengan riang, lalu memeluknya dengan erat dan rasa senang.

"Assalamu'alaikum, Bun." Bunda menyambutku dengan senyuman hangatnya.

"Wa'alaikumussalam. Kamu baru pulang, Sayang?"

"Iya, Bun."

"Kamu sudah makan?"

"Sudah kok, Bun. Tadi sebelum pulang aku beli ubi bakar dulu di jalan." Aku menatap mata bunda dengan pancaran penuh bahagia.

"Lain kali, langsung saja pulang ya, Sayang. Kan kamu tahu kalau Bunda pasti memasak untuk kamu." Bunda mengusap puncak kepalaku lembut. Membuatku ingin menumpahkan air mataku saat ini juga.

Namun, aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan menangis di hadapan keluargaku lagi. Aku akan selalu tersenyum di hadapan mereka, apa pun keadaannya.

"Iya, Bunda. Pasti lain kali aku langsung pulang."

Aku kembali memeluk bunda dengan hangat. Lalu, setelah merasa cukup tenang aku melepas pelukanku pada Bunda.

"Yaudah, Bun. Aku izin keluar dulu ya."

"Loh, kamu mau kemana lagi, Sayang? Kamu kan baru saja pulang."

"Ehmm ... ada sesuatu yang harus aku lakukan, Bun. Boleh, ya?"

Bunda menggelengkan kepalanya, tidak mengerti lagi harus bagaimana menghadapi sikapku yang seperti ini.

"Ya sudah. Tapi ingat ya, jangan lama-lama. Kamu harus pulang sebelum jam 3 sore! Ingat itu!" Aku terkekeh, melihat sikap Bunda yang begitu posesif padaku.

"Pasti, Bun. Aku pasti akan selalu ingat pesan Bunda." Aku kembali memeluk Bunda sejenak, lalu mengecup pipinya dengan cepat.

"Assalamu'alaikum." Dengan langkah penuh bahagia, aku dengan cepat melangkah pergi keluar rumah menuju ke suatu tempat.

Kumpulan Cerpen AntikWhere stories live. Discover now