Wattpad Original
There are 2 more free parts

7. Aura yang Berbeda

128K 7K 1.1K
                                    

Kaki Kaila berdiri gemetar saat ia tiba di depan pintu gerbang sekolah barunya. Matanya melebar tak percaya, sedangkan tangannya melemas. Kepalanya terasa sedikit pening. Beberapa tayangan muncul begitu saja di dalam kedua bola matanya.

Kaila melihat begitu banyak orang di sekolah itu. Bukan siswa atau guru! Melainkan pasien, keluarga pasien, perawat, sejumlah dokter, dan sejumlah orang-orang berseragam TNI. Mereka lalu lalang seperti dalam keadaan panik karena wabah. Peristiwa yang Kaila lihat itu sepertinya sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.

Mata Kaila mengerjap. Napasnya ngos-ngosan. Ia menggeleng tak percaya. Sekolah barunya ternyata adalah bekas rumah sakit! Ternyata firasat buruk yang Kaila rasakan akhir-akhir ini benar. Mau tidak mau, dia akan lebih sering berurusan dengan makhluk-makhluk astral mulai sekarang. Akan sangat sulit menutupi kemampuannya jika ia berada di sekolah itu, sekolah yang merupakan bekas rumah sakit.

"Ya Tuhan, ini bukan sekolah! Ini rumah sakit!" gumam Kaila pelan.

Kaila meneguk ludah. Ia memberanikan diri untuk melangkah dengan mata yang menyisir suasana sekitar. Ada banyak sekali arwah-arwah pasien yang mati penasaran, menatap Kaila dengan tatapan tajam.

Dengan kaki gemetar, Kaila tetap berjalan walau goyah. Ia harus bersekolah di sekolah itu apa pun yang terjadi. Karena ia tidak mau membebani ibunya dengan biaya sekolah di kota yang jauh lebih mahal daripada biaya sekolah di SMA yang berada di kecamatan dekat desanya.

Kaila memasuki kelas X-A. Karena nilai rapor dan nilai Ujian Nasionalnya yang nyaris sempurna, Kaila tak perlu repot masuk ke SMA 5 pelita melalui tes. Dia langsung diterima dan dimasukkan ke kelas A.

Kaila berdehem. Lagi, sekelebat tayangan masa lalu tampil begitu saja di kedua matanya. Dia melihat sepuluh ranjang rumah sakit yang berjejer, lengkap dengan pasien dan keluarga pasien yang tampak sibuk merawat. Kaila menyimpulkan bahwa kelasnya adalah bekas bangsal. Ia menghela napas lega, merasa beruntung karena kelasnya bukan bekas kamar mayat.

"Semoga aku bisa menyembunyikan kemampuanku. Aku sudah berjanji pada ibuku," batin Kaila. Matanya tertuju pada dua bangku paling belakang. Salah satunya sudah duduk sesosok hantu berseragam lusuh yang menunduk dengan rambut panjang tergerai.

Kaila terkekeh kaku. "Aku pasti sudah gila jika duduk di sana."

Kaila berjalan menuju bangku di sebelah bangku milik hantu itu. Ia menaruh tas, lantas duduk walau sedikit tegang. Hantu itu menoleh pelan ke arah Kaila. Wajahnya pucat dengan garis-garis otot yang samar-samar terlihat, membuat Kaila menelan ludah dan bergidik takut.

"Kamu ... kamu bisa melihatku?" tanya hantu itu.

Kaila tak merespon. Ia berpura-pura tuli, memalingkan pandangan, lalu membuka tas ranselnya.

"Namaku Gea," kata hantu itu.

"Astaga! Kenapa aku sekarang bisa mengerti bahasa hantu? Payah! Payah!" Kaila merutuki dirinya sendiri.

Awalnya Kaila hanya bisa melihat sosok-sosok tak kasat mata itu. Lalu lambat laun, dia bisa melihat kejadian di masa lalu dari sebuah benda atau bangunan berbau mistis yang ia jumpai. Sekarang, kemampuannya bertambah satu sejak kematian Yi Fan. Dia kini bisa berkomunikasi dengan hantu-hantu di sekitarnya, terbukti saat ia berjumpa dengan hantu cantik di rumah Nyonya Ratna.

"Aku tahu kamu bisa melihatku. Apa ... apa kamu bisa membantuku?"

Tidak ada sahutan dari Kaila. Kaila malah mencoba mengerjakan buku matematikanya. Walau belum diajari, ia sudah belajar sebelumnya berbekal WiFi gratis di rumah Nyonya Ratna, ia menjelajah di Google dan Youtube untuk mempelajari bab awal kelas 1 SMA.

"Aku adalah korban bullying 10 tahun yang lalu. Aku mati bunuh diri. Aku menjadi arwah penasaran karena orang-orang yang dulu mem-bully-ku sekarang hidup dengan tenang tanpa rasa bersalah," curhat hantu bernama Gea itu.

"Ya Tuhan, apa hantu ini mau menyuruhku membunuh orang-orang yang telah mem-bully-nya?" pikir Kaila yang tentu saja ia bisa mendengar curahan hati hantu itu dengan cukup jelas walau suara hantu itu nyaris seperti bisikan.

"Setelah aku meninggal dunia, aku ingin menghantui mereka. Namun sayangnya, aku tidak tahu alamat rumah mereka. Tepat saat aku koma, mereka pindah sekolah. Sampai sekarang, dendamku belum terbalas," sambung Gea.

"Astaga! Apa hantu ini akan menyuruhku mencari alamat? Aku, kan, bukan Ayu Ting Ting yang ke sana ke mari mencari alamat." Kaila terus membaca buku matematikanya, sesekali ia mencoba mengerjakan soal, berusaha sebisa mungkin mengabaikan Gea.

"Aku ingin kamu mencari alamat orang-orang yang mem-bully-ku."

"Tebakanku benar!"

"Setidaknya mereka harus sedikit merasa bersalah atas kematianku. Hanya itu yang aku mau," imbuh Gea.

"Eh eh! Lihat!" ujar salah seorang siswi yang mendadak heboh, menyita perhatian seluruh siswa yang ada di kelas untuk melihat sesosok cowok berahang tegas, berhidung mancung, beralis tebal, dan berbibir merah jambu. Kulitnya yang putih mulus menambah daya pikat cowok itu.

Kaila terperangah. Kali ini bukan karena ketampanan cowok itu. Tapi, karena aura cowok itu sangat berbeda dari manusia pada umumnya. Cowok itu memiliki aura pelangi. Seumur hidup, Kaila baru menjumpai seseorang yang memiliki aura seperti itu.

Cowok bertubuh tinggi tegap semampai itu tampak mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sorot matanya terhenti pada bangku kosong yang berada di samping Kaila.

"Jangan bilang kalau cowok itu mau duduk di bangkunya Gea!" tebak Kaila.

Cowok itu berjalan dengan santai, melewati sejumlah pasang mata yang tak berkedip seolah memujanya. Cowok itu lantas meletakkan tasnya di atas meja lalu duduk, menindih Gea yang transparan. Gea pun beralih karena tak nyaman.

"Kenapa lo tegang gitu?" tanya cowok itu.

"Hm?" Kaila sedikit terlonjak.

Cowok itu terkekeh lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin. Nama gue Jean."

"Ka ... Kaila." Kaila kelabakan menjabat uluran tangan Jean.

"Lo belum jawab pertanyaan gue loh."

"Hm?" alis Kaila terangkat, kurang fokus dengan apa yang dibicarakan Jean. Tak bisa dipungkiri kalau matanya sedikit melirik pada sosok Gea yang berdiri di belakang Jean.

"Kenapa lo, kok, tegang?"

"Aku ... anak dari kampung."

Dahi Jean berkernyit. "Terus apa hubungannya tegang sama dari kampung?"

Kaila terdiam sejenak untuk mencari alasan. "Em ... sekolahku yang dulu nggak terbiasa anak laki-laki dan perempuan duduk bersebelahan."

Jean terkekeh. "Ada, ya, sekolah kayak gitu?"

"A ... ada, kok."

"Tenang aja. Sekarang elo di Jakarta. Cewek boleh duduk bersebelahan sama cowok, kok. Jadi nyantai aja."

Kaila tak bisa mengalihkan pandangannya dari Jean. Aura cowok itu benar-benar berbeda! Tak hanya memiliki aura pelangi, Kaila bahkan bisa melihat semburat aura emas yang terpancar dari sekujur tubuh Jean saat mengamatinya dari jarak dekat.

"Lo, kok, ngelihatin gue kayak gitu, sih?" dahi Jean berkerut heran.

Kaila tersenyum kaku. "Ma ... maaf." Ia cepat-cepat meraih buku lalu membacanya.

Aura pelangi bercampur emas benar-benar sangat menakjubkan. Bulu kuduk Kaila bahkan merinding, tak sabar melihat apa kehebatan seseorang yang memiliki aura semacam itu.

Kutukan TumbalWhere stories live. Discover now