prolog

303 100 193
                                        


Malam itu hujan turun dengan derasnya. Aku duduk sendirian di pelataran kantor yang sudah mulai sepi. Jam pulang sudah lewat dari tadi, tapi entah mengapa aku masih di sini. Berkali-kali aku menggosok telapak tangan yang mulai kedinginan, kemudian memeriksa penanda waktu atau notifikasi pada ponsel. Astaga, sudah lewat satu jam!

"Lili!" sorak seseorang yang suaranya hampir tenggelam ditelan frekuensi hujan. Dari kejauhan ia berlari menghampiri.

"Sorry, gua telat." lirihnya setelah tepat berada di depanku. Sebagian besar pakaiannya basah, namun getar suaranya tetap menunjukkan penyesalan.

"Ya ampun Arga! Kamu ngapain basah-basahan gini?!"

Fakta Arga-orang yang paling aku sayang setelah keluarga-main hujan sendiri dan lupa untuk mengajakku, ternyata lebih menyita perhatian dibanding kenyataan ia terlambat menjemputku.

"Mobil gua rusak, Li. Jadi gua lari ke sini."

"Astaga! Kalo kamu kabarin, aku kan bisa pesan taksi buat pulang atau jemput kamu sekalian, Ga," responku sedikit menyayangkan kondisi Arga sekarang. Bagaimana kalau setelah ini dia malah sakit?

"Gua lupa ponsel ketinggalan dimana, Li. Keknya di kantor, hehe." balasnya cengegesan. Aku menghela nafas, ini sudah yang kesekian kalinya. Arga memang terlalu ceroboh terhadap benda persegi panjang canggih, yang membuat dunia berada dalam genggaman itu.

"Aku bakal pesan taksi, sana bersihin diri kamu di toilet!"

"Siap bos! Tunggu yaa, Li. Gua jangan ditinggal!" candanya sebelum melesat pergi.

Tak lama taksi yang kupesan datang menjemput. Segera setelah aku duduk manis di dalam mobil, driver bersiap melajukan kendaraan. Cepat-cepat aku menghentikannya karena Arga belum kembali.

"Maaf, bisa tunggu sebentar? Teman saya tadi ke toilet."

Driver itu mengangguk sembari tersenyum tanda setuju. Setelah melihat Arga kembali, aku menurunkan kaca mobil kemudian melambaikan tangan untuk menarik perhatiannya. Mengetahui posisiku, Arga langsung menghampiri dan duduk di sebelahku.

"Ke apartemen X ya,"

"Langsung jalan?"

"Iya."

Sesampainya di apartemen, aku langsung mengambil handuk kemudian memberikannya pada Arga. Tanpa mengganti baju atau mengeringkan diriku lebih dulu, aku menyeduh susu coklat kesukaannya. Arga boleh dua tahun lebih tua dariku, tapi favoritnya akan selalu begitu. Belum lagi selesai, Arga sudah menegurku.

"Ganti baju dulu, Li. Ntar lu masuk angin!"

"Nanggung!" sorakku. Dan memang tak lama, aku sudah menawarkan susu coklat panas untuk menghangatkan dirinya.

"Yeay! Makasih," girang Arga senang menerima gelasnya, aku tersenyum kecil melihatnya. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dibenakku.

"Ga, pengen mi rebus rawit!"

Arga terdiam sejenak, memandang lekat wajahku tanpa bergerak. Lalu secercah senyum mengembang di wajahnya, "iya, iya! Mandi, ganti baju dulu gih!" syaratnya. Sekarang gantian aku yang mengangguk senang dan langsung secepat kilat menghilang ke kamar.

"Uff, kenyang!"

Aku sudah bersih dan baru saja selesai makan. Mi rebus rawit buatan Arga ditambah bonus hujan dan hawa dingin, benar-benar kolaborasi paling dahsyat di alam semesta. Masih dengan tawa kecil memperhatikan ekspresiku, Arga berdiri kemudian berkemas.

"Gua balik ya, Li."

"Yaudah, kabarin aku kalo ada apa-apa, Ga!"

"Tenang, gua bakal tetap kabarin lu meskipun gak ada masalah." godanya yang menurutku sangat manis.

100 Days After Break UpWhere stories live. Discover now