Chapter 6

37 10 2
                                    

—————————————
Diam Bukan Berarti Takut
——————————————

Setelah lebih dari seminggu, urusan hati antara Bagas dan Sherly telah selesai. Sherly mau menerima Bagas dengan persyaratan menunggu hingga lulus sekolah dahulu, ia tak ingin masa-masa untuk belajar dipakai oleh kegiatan pacaran di sekolah. Bagas pun menerima dan menyetujui persyaratan dari Sherly, ia berterima kasih banyak kepada Jessica yang menjadi ‘mak comblang’ untuk keduanya.

Selama satu minggu ke belakang, aku selalu dekat dengan Jessica. Bahkan hampir setiap jam istirahat tiba kami selalu bersama-sama. Kebanyakan orang termasuk Bagas mengira aku sudah ada hubungan khusus dengannya, tapi aku membantah karena itu semua hanya fitnah. Aku belum ada hubungan khusus, sebatas teman.

Di jam istirahat ke dua, aku sendirian menuju toilet yang terletak di ujung gedung sekolah sekadar untuk membasuh kepala yang panas karena terik matahari.

“Banci! Main kok sama cewek!” Suara yang terdengar tetapi tak ada penampakannya terdengar dari balik pintu kamar mandi.

“Ngomong sama siapa, ya?” tanyaku memastikan.

“Buat orang yang main bareng mulu sama cewek.”

“Siapa? Coba keluar dong, biar tau. Jangan ngumpet dari balik pintu. Suaranya cowok, pasti beranilah buat keluar,” sindirku memancing emosi dia.

Seketika pintu kamar mandi terbuka dengan keras, seorang lelaki jangkung dengan rambut poni panjang samar-samar terlihat, tertutup asap rokok.

“Oh, anak teladan,” sindirku lagi.

“Gue ingetin, ya ... Jangan deketin Jessica lagi. Dia sekarang udah jadi pacar gue.” Tangannya memegang kerah bajuku kuat-kuat. Hampir sesak napas diperlakukan seperti itu.

Aku mencengkeram pergelangan sebelah kirinya dengan kuat. Tak akan aku lepaskan sebelum dia melepaskan tangan yang masih memegang kerah bajuku. Tampak raut wajahnya kesakitan setelah sekian lama urat pergelangan tangannya tak mengalirkan darah. Akhirnya ia melepaskan kerah bajuku yang sekarang berantakan.

“Dengerin ya, anak manja, anak orang kaya ... yang pertama kenal duluan dengan Jessica itu siapa? Terus, pacarmu yang pertama mau dibuang ke mana? Ngaku-ngaku pacar Jessica.” Aku membuang ludah di sampingnya. Untung saja tangannya sudah terlepas dari kerah baju, jadi ludahku tak terkena lengan dia.

Dengan keras ia mendorongku hingga ke ujung lorong toilet. Aku rasa emosinya mulai memuncak. Matanya merah melotot kala menatapku, membara bagai orang yang kesetanan.

“Lo berani sama gue?”

Aku tak mampu bergerak lagi, dadaku tertahan oleh tangannya. Ingin rasanya berontak dari tekanan dia, tapi masih dalam lingkungan sekolah. Aku tak ingin membuat kerusuhan di sekolah hanya karena perempuan.

“Dari dulu juga berani. Sama-sama makan nasi, apa bedanya? Karena kamu banyak uang terus aku gak berani, gitu?” Aku mengernyitkan wajah sinis. Kali ini aku benar-benar berani mengungkapkan kejujuran, berterus terang langsung kepada orang yang bersangkutan.

“Gue tunggu lo di belakang sekolah nanti pulang!” perintahnya seraya melepaskan tangan yang sedari tadi menekan pada dadaku.

Pesan Dari Surga [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang