10. Permintaan Maaf

Start from the beginning
                                    

Sampe diatas, gue berhenti sejenak untuk mengatur nafas gue yang masih tersenggal-senggal. Begitu pula dengan Deana--yang mukanya udah merah banget.

"Hosh... gak... lagi... hosh... lagi... gue... hosh... naek tangga sampe sini lagi. Capek... hosh," kata Deana terengah-engah.

Gue mengacungkan jari telunjuk gue keatas, "Sama!" seru gue. "Masih jauh, Kev?" tanya gue pada Kevin.

"Tuh, kelasnya," kata Kevin seraya menunjuk suatu ruangan. Gue hanya ber-oh-ria sambil mengekorinya di belakang.

Kita sudah sampe di depan kelasnya Davi. Ternyata, dia lagi konsentrasi belajar. Berarti Davi tipe orang yang suka menggunakan otaknya. Gue sih, males banget. Otak gue udah bebel, di polokkin buku terus. Prinsip gue, pinter gak pinter yang penting sekolah. That's enough. Jangan ditiru, kay?

Kenapa Davi keliatan ganteng banget ya, kalo lagi serius gitu? Ah, dia mah disaat apapun pasti selalu terlihat ganteng. Ck, kenapa lu dilahirin sebagai cogan, Dav?

"Ehm, lo kesini bukan cuma mau ngeliatin Davi doang, 'kan?" suara deheman Kevin langsung menyadarkan gue kembali ke realita. Hah, saking seriusnya ngeliatin Davi, sampe lupa kalo gue kesini gak sendiri.

Gue menggaruk tengkuk gue yang gak gatel, "Heee," gue cuma nyengir lebar.

Deana menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepalanya, "Dasar! Gak bisa dikit lo ngeliat cogan? Mending panggil sana."

Gue menggeleng kuat, "Hell no! Lo yang harusnya manggil dia. Ini gara-gara lo, ya!" sungut gue tak mau kalah.

Deana memutar kedua bola matanya jengah, "Iye elah," jawabnya gak ikhlas.

tok tok tok

suara pintu diketuk, sehingga membuat aktifitas belajar-mengajarpun terhenti. Seorang dosen keluar dari dalam kelas dengan tatapan garangnya. Sialan, gak ada dosen yang gak garang apa? Kayak pak Riko gitu yang masih muda, ganteng, gak pernah ngomel, baik hati. Tapi sayang, pelit nilai. Huuu.

"Ada apa?!" ketusnya. Etdah, salam aja belom ini gua, udah di semprot kek begitu. Ngeselin amat.

"Assalamu'alaikum, Pak." kata gue sambil senyum manis.

"Ya, wa'alaikumsalam. Kenapa?" jawabnya datar.

"Saya mau bertemu Davian, Pak. Boleh dia izin hari ini tidak mengikuti kelas bapak?" tanya Deana.

Sang dosen berpikir sebentar. Dia mengelus-elus dagunya biar terlihat sedang berpikir keras. "Boleh. Tapi, lain kali tidak ada izin-izin lagi. Kalian tau 'kan, kalo Davian sudah memasuki semester 6."

Gue mengangguk pasti, "Siap, Pak. Kali ini doang kok. First and last," kata gue nyengir lebar.

Kali ini si dosen menatap Kevin, "Kamu Kevin kan? Kenapa kamu disini? Memangnya tidak ada kelas?" tanya dosen itu pada Kevin.

Kevin tersentak, "Eh? Ada pak, cuma dosennya belum dateng. Saya hanya mengantar Keyna dan Deana yang ada perlu dengan Davian," jawab Kevin tenang.

Dosen itu hanya ber-oh dan segera memanggil Davian untuk menemui gue. Davian tetaplah Davian. Dia masih cuek sama gue, bahkan dia langsung pergi gitu aja. Huh, harus ekstra sabar nih. Tenang, Key, lo pasti bisa bikin dia baikan sama lo, batin gue mantap.

Gue dan Deana mengekor dibelakang Davi. Kevin? Dia tidak ikut, karena dia bilang sedang ada urusan. Saat Davi hendak menuju kantin, gue malah menyeretnya ke taman kampus. Karena, pasti di taman situasinya lebih aman dan gak rame.

"Shoot!" tukasnya. Anjir, gak pake basa-basi dulu gitu? Beneran marah nih orang.

"Ehm...." gue bingung mau ngomong apa. Deana kenapa malah diem aja coba?! Harusnya dia 'kan yang tanggung jawab.

First LoveOn viuen les histories. Descobreix ara