Telenovela di Arabia(?)-3

2.2K 208 0
                                    

▪Sabtu, 5 Januari. Malam.

“Kenapa sudah seminggu ini kalian ngga kemari?” tanya Toni di seberang.

Kupindahkan ponsel dari telinga kiri ke kanan. “Jangankan wanita patah hati, yang sehat pun, ngga mungkin mau mengunjungi tempat di mana sang pacar mencampakkannya. Jadi jangan harapkan kehadiranku dalam waktu dekat.” Aku duduk di kursi dapur, tanpa menyalakan lampu.

“What the ....” Tumben banget, dia ngga meneruskan umpatannya sampai akhir. Kudengar dia menggumam tak jelas.

Dengan mata menerawang dalam gelap, kubayangkan pria itu mondar-mandir di kamar kos-nya dengan tangan memijit-mijit pelipis. Bukannya sok tahu sih, cuman Toni selalu menjawab hal itu saat kutanya apa yang sedang dia lakukan. Jadi mungkin sekarang pun sama.

Aku tertawa kecil. “C'mon, Dude! Jangan berlebihan!  Aku masih lama di sini, kita akan bertemu kapan-kapan. Lagian, kita kan masih bisa bertelepon setiap saat,” ucapku sambil menggigiti kuku telunjuk. Kunaikkan kaki ke kursi, jadi aku bisa menaruh dagu di lutut.

“Tapi kamu kan, ngga mau video call,” protesnya.

“Kamu tertarik padaku atau wajahku?”

“Dua-duanya!”

“Serakah. Satu aja!” Aku cekikikan.

“Aku akan memilih salah satu, kalau kamu mau menciumku.” Nah, mulai lagi. Kupejamkan mata dan mengusap mukaku dengan telapak tangan kiri.
Aku mau menjawabnya, saat tiba-tiba lampu dapur menyala. Sabia!

Dengan tersipu malu kuturunkan kedua kaki dari kursi lalu kumasukkan ponsel ke saku jaket. Dilihat dari wajahnya, wanita itu tampak ngga senang dengan apa yang kulakukan. Oh Tuhan, semoga dia ngga lagi PMS atau bad mood saja.

Sabia sudah berkali-kali menegurku soal ponsel dan suaraku yang berisik (menurutnya, padahal menurutku suaraku ngga seberapa keras, kok).

Dengan mata melotot ke arahku, dia berkata dengan kasar. “Sudah kubilang berapa kali? Kalau waktunya tidur, ya tidur! Terus, soal ponsel ... sepertinya aku sudah kehabisan sabar, ya Golbi (hati~amiya)!”

Wanita galak itu berkacak pinggang di depanku. Gurat kekesalan terlihat jelas di mukanya yang mulai bermunculan flek hitam di pipi. Hidungnya yang penuh komedo pun, berkembang kempis.

Sumpah, selama di sini hampir tiga bulan, baru kali ini aku merasa takut. Bukan. Bukan takut dipukul atau dimarahi, tapi aku takut dipecat. Aku tahu dia kepala pekerja di sini, bahkan Maha aja segan sama dia. Kata Maria sih, satu-satunya orang yang ditakuti oleh Sabia itu hanya Baba Muhammad.

Ah, tahu begini, aku sejak kemarin-kemarin mendekati pria tampan itu, biar di saat seperti ini ada yang bisa membantuku.

“Kamu ndengerin omonganku, kan?” katanya lagi. Kali ini dengan volume lebih rendah dari sebelumnya. Aku ngga berani menatap wajahnya, jadi ngga tahu bagaimana raut muka wanita itu.

Aku menunduk dengan mata menatap sandalnya yang berwarna ungu dengan motif stroberi. Ternyata kaki Sabia itu gede, lho! Kayak kaki pria. Apalagi dengan kaus kaki tebalnya, yuck! Tampak menjijikkan dan jelek banget!

“M-maafkan a-aku, S-sabia Sayang!” ucapku lirih setengah berbisik.

Sabia ngga menjawab. Keadaan menjadi senyap. Sepertinya semua orang sudah pada tidur. Sekarang kan, sudah jam sebelas.

Wanita itu mendengkus kasar. “Kamu itu digaji untuk kerja, bukan telponan melulu. Fahamti?”

Aku mengangguk lagi. Mataku mulai terasa basah. Pasti sebentar lagi, air asin itu akan jatuh. Semoga jangan!

“Paham, tapi kamu ngga pernah menjalankannya. Masih baru udah berani bertingkah. Sebagai hukuman, mulai saat ini kamu ngga boleh pegang Ponsel sampai seminggu ke depan.” Dia menyodorkan tangan kanannya, “Mana?”

Dengan hati sesak yang meronta, aku mengambil ponsel di saku, meng-off-kan, lalu menyerahkannya. Beramaan dengan dua butir air asin membasahi pipi.

PONIYEM DIARY (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang