Mas itu Ningrat (?)-2

3.4K 283 0
                                    

🌺Saat terhimpit masalah, yang kita pikirkan hanyalah solusi, bukan lagi gengsi dan reputasi.🌺

================================

Kamis, 18 Oktober. Siang.

Kebetulan. Meskipun aku ngga memercayai kata itu, tapi kenyataannya memang itu yang terjadi. Tempat dudukku tepat di sebelah Hadi. Dalam hati aku seneng aja, dari pada harus duduk bersebelahan dengan orang asing.

Kalau boleh jujur sih, aku lebih suka lagi kalau dia belum punya pacar. Bukan. Bukan karena aku naksir dia atau apa, tidak. Maksudku, kalau dia jomblo, aku lebih leluasa dan free aja. Pacar orang itu ngga beda jauh dengan suami orang. Jadi kalau ngobrol dengan pria seperti itu, bawaannya ngerasa bersalah aja

Setelah pesawat take-off, kami melepas sabuk pengaman dan mulai mengobrol lagi. “Mas, kenapa mau jadi TKI?” tanyaku sekenanya. Kepalaku masih belum beradaptasi dengan pesawat.

Ini pertama kalinya aku naik pesawat, dan menurutku jauh berbeda dengan bus atau kereta. Kalau disuruh memilih, aku pasti pilih kereta. Kalau bus itu mabuk karena baunya. Sedangkan pesawat, semuanya terasa nyaman kecuali saat take-off yang membuat kepala sedikit pusing dan telinga berdenging. Menurut yang aku baca, saat landing juga akan sama. Coba lihat aja nanti gimana.

Mataku yang masih sedikit berkunang- kunang, mengamati tangannya yang mulus, seperti orang yang ngga pernah kerja kasar, gitu. Bahkan tanganku aja, ngga semulus dia. Pakaiannya juga rapi. Kali ini dia menggunakan celana jeans hitam, kaos polo biru dan jaket kulit yang juga berwarna hitam.

Bibirnya  menyengir lebar. “Lah, kamu sendiri ngapain jadi TKI?”

“Ih, orang ditanya kok malah balik nanya, sih?”

“Ya ngga ada aturan yang melarang, kan?”

“ Ya, ngga ada, sih. Tapi ada ketakutan tentang plagiasi.”

“Maksudnya?”

“Ya, nanti Mas memplagiasi jawabanku.”

“Ngga bakalan.”

“Yakin?”

“Seribu persen!”

Aku ngakak dan dia pun ikut tertawa. Percakapan kami terpotong oleh kehadiran pramugari yang mengantarkan makanan.

Perut yang masih mual akibat take-off tadi, membuatku enggan menyentuh makanan. Berbeda dengan Hadi, yang langsung melahapnya cepat. Dilihat dari tingkah lakunya, sepertinya pria itu memang sering naik pesawat. Ah, akunya aja yang katrok. Ngga seperti Kira yang suka plesiran. Gadis itu selalu tahu info tiket-tiket diskonan. Nah kan, Kira lagi ... Kira lagi.

“Kenapa ngga makan?” tanya Hadi yang memecah lamunanku.

Dengan bibir tersenyum tipis, aku menggeleng. “Perut ngga enak!”

Sekitar dua puluh menitan kami saling diam. Dia sibuk makan dan aku menghibur diri dengan melihat gumpalan awan dari jendela. Awan itu membentuk bulatan-bulatan raksasa yang mengambang di udara seperti kapas. Warnanya yang putih bersih sangat kontras dengan langit yang biru. Sayang, aku ngga bisa fotografi, padahal ini salah satu obyek yang paling indah yang pernah kulihat setelah pemandangan alam dan hewan.

“Kenapa mau jadi TKI?” tanyanya membuka percakapan. Kukira dia sudah lupa topik itu. Aku jawab apa, ya? Masa kujawab mau cari jodoh? Norak banget, ah! Malu, pasti dia akan menertawakan aku atau malah membandingkanku dengan pacarnya yang hampir “sold out” di usia belia. Setelah menggigiti kuku sebentar (karena dia melihatku terus) aku menjawab, “Mau cari modal buat usaha. Mas sendiri?”

Dia tersenyum getir. “Untuk bayar hutang!” Mata berbulu lentik itu setengah menerawang.

Aku terdiam, ngga tahu harus menimpali apa. Kalau sudah masalah financial seperti itu, ranahnya sudah sensitif. Tapi ngga berapa lama kemudian, tiba-tiba di otakku muncul satu pertanyaan yang sepertinya ngga tajam, sih. “Kenapa ngga ke negara Asia Timur aja, Mas! Lebih lumayan gajinya.”  Semoga saja dia ngga membalik pertanyaannya padaku.

“Bang!” ralatnya sambil nyengir.

“Iya deh, Bang!”

“Ke sana tuh, nunggunya lama dan biayanya mahal. Nanti aku keburu diciduk debt colector.” Ucapannya terdengar santai meskipun dibarengi dengan senyuman pahit. Pria itu menurunkan sandaran kursinya ke belakang.

“Saat terhimpit masalah, yang kita pikirkan hanyalah solusi, bukan lagi gengsi dan reputasi.”

Kami diam lagi. Mataku mulai ngantuk. Dan dia ... sepertinya juga sibuk dengan pikirannya sendiri. Matanya menerawang, seakan-akan ada peristiwa besar yang dia mencoba untuk memahaminya.

==========Bersambung========

PONIYEM DIARY (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang