Semua Salahku (?)-3

4.7K 397 4
                                    

🌺Kekuasaan itu kesempatan. Semakin berkuasa seseorang, semakin besar dia berkesempatan.🌺

================================

■Senin, 13 Agustus. Siang.

Sial! Siang-siang begini, Mas Aris, menyuruhku pergi menemui klien. Mana panasnya sudah level lima lagi. Aku sudah beberapa kali memohon, agar perginya sorean sedikit, tapi dia malah ngomel. Katanya nilai job ini lebih gede dari biasanya. Jadi kami harus lebih memanjakannya atau ngga ada gaji buat kami. Dasar bos mata duitan!

Dengan bibir manyun, aku meraih jaket dan menghambur ke parkiran. Setelah memakai helm, kujalankan Vario merah-ku di angka 60 km/jam. Syukurlah, sekarang jalanan lebih lengang dari pagi atau sore. Ya iyalah, siapa juga yang mau menyusuri aspal berdebu di bawah terik begini, kalau bukan pekerja jelata seperti Pony.

Tak sampai empat puluh menit, aku sudah sampai di alamat yang dimaksud.  Sebuah bangunan dua lantai dengan plang putih besar bertuliskan “PJTKI* Bina Sukses” terpampang di depan gerbang.

Setelah laporan pada satpam, aku digiringnya ke sebuah kantor yang terletak di bagian bangunan paling depan. Kami (aku dan pak satpam) melewati selusinan meja karyawan, sebelum memasuki ruangan si bos.

Seorang pria paruh baya, berkepala botak dengan wajah bulat dan kumis tipis, menyambutku.

Setelah bersalaman dan tanya jawab cuaca, kami pun mulai berdiskusi tentang event-nya.

“Oh, jadi bapak mau 'open house' gitu ya, Pak?” tanyaku sopan. Mata ini sesekali memandangi interior ruangan yang menurutku ... menawan. Aroma lavender dari AC turut memanjakan penciuman.

Pria yang beru lima menit kuketahui bernama Safar itu, mengangguk dan tersenyum lebar. “Betul, Mba! Alhamdulillah, tahun ini kami berhasil membuka satu kantor cabang lagi. Jadi ya ... semacam syukuran.” Suara pria ini terdengar mirip Anwar Fuadi, si pemain sinetron favorit Ibuk.

Aku mengeluarkan file folder kuning dari tas, lalu menyerahkannya pada Pak Safar “Ini proposalnya, Pak!”

Pak Safar berdeham lalu membacanya. Sementara dia membaca, aku asyik memandangi pernak-pernik hiasan yang tertata rapi di lemari kacanya.

Kalau menurut keterangan Mas Aris tadi, meskipun masih cenderung baru, PJTKI Bina Sukses termasuk yang terbesar di Madiun. Ini bukan pertama kalinya, kami menjalin kerja sama dengan mereka. Perusahaan mereka termasuk yang paling sering mengadakan event.

“Bagus, Mbak! Umpama bagian baksos-nya ditambahin pembagian beasiswa gitu bisa, ya?” Ucapannya membuyarkan otakku yang sedang berkontemplasi. Entahlah, tiba-tiba saja ada ide yang menari-nari di kepala.

“Oh ... eh ... bisa, tentu bisa, Pak? Engg ... beasiswanya untuk umum atau ada spesifikasi, Pak? Misalnya ... Tingkat pendidikan atau prestasi, mungkin?” jawabku sedikit gelagapan. Wah, hebat juga orang ini, meskipun banyak yang memandang usaha jasa TKI dengan sebelah mata, tapi kontribusinya pada masyarakat, patut diacungi jempol juga.

“Sepertinya dilihat dari kondisi ekonomi keluarga saja, Mba! Ngga semua orang teranugerahi otak encer dan ngga semua anak yang membutuhkan bantuan itu bisa berprestasi. Kalau semua bantuan hanya tertuju pada si otak pintar, terus bagaimana nasib yang ngga pintar? Yang berotak pas-pasan.” Pria itu tampak serius. Jemari kanannya memainkan bolpoin warna keemasan.

“Tapi kadang kecerdasan mewakili tekad dan usaha, Pak! Meskipun ngga semua, sih. Lagi pula ada juga kok, beasiswa yang diberikan bagi mereka yang aktif dan kreatif. Yang jelas bukan siswa yang sudah miskin, ngga pintar, dan pasif pula. Kalau tipe siswa seperti itu mah, dibantuin pun tampak percuma.” Kuakhiri ocehanku yang sepertinya tampak “ngga tahu tapi sok tahu” banget. Setidaknya, wajah Pak Safar mengatakan hal itu.

Pria itu diam dan menatapku lekat, membuatku jadi canggung dan salah tingkah. Apakah omonganku tadi salah?  Oh Tuhan, semoga ngga berefek pada kerja sama atau Mas Aris akan membunuhku tanpa ampun.

Sepertinya, aku harus belajar mengendalikan mulut. Tanpa sadar aku telah menggigiti kuku pula. Dan Pak Safar tampak semakin ilfil melihatku. Kalau boleh jujur, aku benci banget dengan kebiasaanku yang satu ini. Tapi, bagaimana lagi, susah banget untuk terlepas darinya. Semuanya sudah refleks.

Kekuasaan itu kesempatan. Semakin berkuasa seseorang, semakin besar dia berkesempatan. Tergantung dirinya, mau negatif atau positif. Semua terserah pada si pemegang kekuasan.

Contohnya ya, Mas Aris dan Pak Safar. Karena kekuasaan yang mereka miliki, sebagai bos dan klien, bawahan miskin papa sepertiku hanya bisa menahan napas dan mendengarkan apa pun kata mereka. Jangan harap, kita bisa ngomong seenaknya, selama masih menerima gaji dari mereka.

*PJTKI : Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia.


PONIYEM DIARY (COMPLETED)Where stories live. Discover now