Chap 2 • Puteri Tidur •

396 129 241
                                    

Matahari telah bangun dari tidurnya yang nyenyak, selama 12 jam lamanya. Perlahan-lahan ia semakin naik ke atas untuk melihat Bumi dan juga isinya. Menyapa para ayam untuk melakukan tugasnya, berkokok setiap pagi datang.

Cahaya Matahari itu perlahan merambat ke setiap sudut Bumi untuk menyinari kegelapan yang ada di sana. Serta sinarnya pun, ingin masuk menerobos jendela-jendela rumah yang di dalamnya masih terdapat manusia berselimut yang masih setia pada mimpi-mimpi mereka.

Salah satunya, gadis mungil yang sudah seperti puteri tidur ini.

Lihat saja! Suara alarm yang hampir seperti bunyi sirine pemadam kebakaran pun, masih terus bernyanyi berusaha membangunkan gadis di bawah selimut yang sama sekali tidak bergeming dari tidurnya yang indah.

Sampai jam itu pun sepertinya telah lelah dengan suaranya yang hampir sember karena harus membangunkan manusia tersebut tanpa ada respon, hanya sekedar untuk bergerak sedikit saja.

Apakah gendang telinganya itu tertutup emas berkarat ? Atau justru karena ulah mulutnya yang setiap hari seperti toa tukang perabotan yang biasa ada di bazar-bazar?

Entahlah. Yang pasti, hanya orang-orang yang mempunyai kesabaran, yang bisa membangunkan gadis berusia 16 tahun itu. Seperti Mbok Diah, misalnya.

Mbok Diah yang baru selesai dengan pekerjaannya di dapur, keluar melihat ke arah meja makan yang masih utuh beserta dengan lauk pauk di atas meja tersebut.

"Aduh. Non Milly belum bangun juga ini, teh?" ucap Mbok Diah geleng-geleng kepala sambil menuju kamar anak majikannya yang berada di lantai dua.

"Sudah jam berapa ini. Nanti kalau terlambat lagi, gimana?" tanya Mbok Diah pada diri sendiri.

Ceklek.

"Euleuh-euleuh. Yaampuun ... Si putri tidur ini. Masih saja ngumpet di bawah selimut," ucap Mbok Diah, lalu menarik selimut tebal berwarna pink yang menutupi seluruh tubuh mungil Milly. Dan kemudian menyibakkan tirai jendela bermotif kupu-kupu itu, agar sinar matahari bisa masuk membangunkan Milly yang masih setia pada mimpinya.

Milly yang merasa terganggu, membalikkan tubuhnya agar cahaya matahari yang mulai terasa hangat, tidak menerpa langsung pada wajah mungilnya.

"Non Milly, ayo bangun atuh, Non. Apa perlu Mbok carikan pangeran yang bisa bangunin putri tidur yang malas ini, hem?"

"Hmmm, boleh, Mbok. Cari Pangerannya yang ganteng yah, Mbok. Terus yang tingiiii— eh, jangan tinggi-tinggi banget deh. Nanti aku susah kalo mau cium dia," ucap Milly pelan, dengan kelopak mata yang masih tertutup.

Mbok Diah menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum tipis melihat kelakuan Milly yang sudah seperti anaknya sendiri.

Mbok Diah sudah bekerja dengan keluarga Milly lama sekali setelah Papa dan Mamanya Milly baru menikah. Jadi, Mbok Diah sudah mengasuh Milly dari Milly masih bayi hingga sekarang ini.

Maka dari itu, Mbok Diah sudah sangat hafal tabiat Milly. Sangat manja dan ceria. Juga tengil.

"Ayo bangun, Non. Sudah jam berapa ini. Nanti Non Milly telat."

Milly memang tidur tidak terlalu malam. Kalau kalian ingin tahu, ia tidur yang paling awal di rumah. Tapi yaa, tetap saja bangun paling akhir. Dan Itu juga, harus ada yang membangunkannya. Jika tidak, dia akan terus berada dalam alam mimpinya sendiri.

Milly mengerjapkan matanya bangun dari tidur. Menguap lebar tanda bahwa ia masih mengantuk.

"Emang udah jam berapa, Mbok?"

Mbok Diah melirik jam di nakas, samping tempat tidur.

"Sudah jam 06.55, Non. Bukannya teh, Non Milly masuk sekolah jam 07.00 'kan, Non?" Mbok Diah beralih menatap Milly dengan bertanya. Milly sedikit mengangguk membenarkan.

”Lima menit lagi berarti sudah masuk. Ayo cepet mandi. Nanti sarapan Non Milly biar Mbok jadikan bekal saja," ucap Mbok Diah yang sudah menarik Milly dengan kotoran mata yang masih merekat di sela-sela mata gadis itu, untuk masuk ke kamar mandi.

10 menit kemudian. Milly keluar dari kamar mandi dan mulai memakai seragam sekolah SMA-nya.

Milly merias rambut coklat aslinya, yang ia biarkan digerai dengan satu jepitan rambut berbentuk pita kecil di sebelah kiri. Tak lupa juga memakai bedak tipis dan lipbalm rasa orange kesukaannya. Dan yang terakhir, parfum beraroma vanilla yang selalu ia pakai.

Milly melihat penampilannya di pantulan cermin dengan mata bulat indah miliknya. Setelah puas, ia keluar untuk mencari Mang Pandi, supir yang selalu mengantar dirinya kemana pun ia butuhkan.

"Non Milly! Nih bekalnya sudah Mbok siapkan. Jangan lupa dimakan."

Milly tersenyum lalu mencium punggung tangan Mbok Diah.

"Siip, Mbok. Makasih ya, Mbok. Milly pergi ke sekolah dulu."

"Iya, hati-hati, Non."

Bukan hanya Mbok Diah yang menganggap Milly seperti anaknya sendiri. Milly pun sudah menganggap Mbok Diah seperti ibu dan keluarga ia sendiri. Bahkan semua yang bekerja di keluarga Milly, sudah Milly anggap seperti keluarganya juga.

Milly juga sebenarnya merasa kesepian di rumah. Bukan hanya karena ia tidak memiliki saudara kandung yang bisa ia usilin dan diajak bermain. Tetapi Mama dan Papanya selalu sibuk bekerja sampai tidak sempat untuk sekedar menemani Milly di rumah setiap hari.

Seperti sekarang ini, Mama dan Papanya sedang pergi ke Sydney untuk pekerjaan mereka. Dan hanya sebulan sekali pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan Milly.

Walaupun merasa sedih, Milly tidak pernah memperlihatkan kesedihannya. Ia akan selalu menjadi Emilly Husenia Putri yang ceria dan periang seperti ia menjalankan hari-hari biasanya.

Karena ia tahu, Mama dan Papanya sangat menyayangi dirinya dan mereka bekerja keras untuk masa depan Milly kelak.

"MANG PANDIIII!!!"

"Ciaatt! Siapa lo! Anak mana lo! Bapak lo siapa?! Waaciaatttt!!"

Milly bengong melihat Mang Pandi yang ia kagetin, bangun dari tidurnya dengan bergaya silat seperti ingin menghajar orang, yang sudah berani mengusik tidurnya.

Sedetik kemudian, Milly tertawa terbahak bahak melihat Mang Pandi seperti itu.

"Ehh, Non Milly. Tak kirain sopo," Mang Pandi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Membungkuk tidak enak kepada Milly.

"Ayo, Non. Saya antar."

"Tapi pake motor ya, Mang!"

"Loh. Kenapa ndak pake mobil aja?"

"Milly udah telat, Mang. Takut kena macet. Nanti telatnya nambah. Ayo Mang!"

"Wokee! Siap, Non. Duh bisa dihukum nih Non Milly kalo sampe telat," Mang Pandi berjalan menyiapkan motor matic-nya.

"Ayo naik, Non!" seru Mang Pandi yang sudah menaiki motor dan memakai helm. Milly pun langsung naik di jok belakang motor Mang Pandi. Berangkat sekolah dengan tidak memiliki rasa khawatir atau pun takut terlambat.

Willy and MillyWhere stories live. Discover now