"Soo Young," ucapku, mengulurkan tangan kanan. "Namaku Park Soo Young."

"Maaf?"

Asal tahu saja, aku telah menahan bola mata untuk tidak menurun---membaca papan nama yang tersemat pada rompi seragamnya. Aku hanya ingin mengetahui nama laki-laki ini dari mulutnya langsung.

"Aku sudah memperkenalkan diri. Sebagai rasa terima kasih, kau bisa balas memperkenalkan dirimu,"

"Aku merasa tidak perlu memperkenalkan diri pada orang asing." Wajahnya tawar. Aura gelap semakin membubung di atas kepalanya---memutar, bukan seperti asap yang langsung hilang terkena dingin. "Aku juga tidak merasa diberkati olehmu untuk mengucap terima kasih."

Dan aku ditinggal, masih bersama tangan yang memanjang. Ah, remaja sekarang makan apa, ya? Heran. Mengapa mereka tidak bisa menjaga sikap? Omong-omong, aku juga sedang menjadi remaja sekarang ini. Mengomentari orang, diriku yang malu.

Aku memutar tubuh. "Ey! Kau akan jatuh di lima langkahmu dari sekarang!"

Dia menoleh, sekali lagi menghentikan langkah.

"Mau aku pinjamkan tanganku? Aku bisa memegangmu agar tidak jatuh. Mari berjalan bersama...."

"Kau tidak waras?"

Well, mungkin begini rasanya disebut tidak waras. Setengah hidupku dihabiskan di tempat ini, dan baru pertama mendengar kata-kata tidak enak begitu mengarah padaku---secara terang-terangan, selain itu sih, aku bisa mengabaikannya seperti aku mengabaikan Mino.

"Sisa hujan meninggalkan becek. Air yang sempat tergenang mengering menimbulkan lumut. Kau benar-benar akan jatuh."

Laki-laki itu tetap tidak memedulikan kalimatku. Diabaikan. Sekian kalinya. Lalu apa kabar Mino yang sering menerima sikap abaiku? Belum sempat membayangkan wajah kesal Mino, suara gesekan sepatu dan bumi berguncang mengalihkan atensiku.

Sebetulnya bumi tidak benar-benar berguncang, hanya asumsiku karena mendengar suara jatuh begitu kencang. Pria yang tidak mendengarku memperoleh kenyataan. Dia jatuh sebab jalan licin penuh lumut. Laki-laki itu mengaduh, cepat-cepat berdiri dan membersihkan kotoran di bokongnya---meski masih menimbulkan sisa noda menempel di celana.

Remaja itu menoleh padaku. Tidak kusangka, dia mendekat---memasang garis wajah kesal yang terkesan menggemaskan.

"Kau sengaja membuatku jatuh, ya?"

"Aku? Kenapa?"

Dirinya terlihat bingung menjelaskan. Apa pria ini percaya pada hal-hal diluar jangkauan akal manusia? Itu berarti dia memang pria yang kucari.

"Daripada membuatmu jatuh, lebih baik menjadi tangan, kaki, juga kedua matamu."

"Aku tidak mengerti,"

"Beritahu aku namamu, dan aku akan membuatmu menjadi manusia paling beruntung. Aku ada membantumu saat sulit."

"Serius?" Matanya berbinar cerah. Aku baru pernah melihat kedua mata yang menyorot keindahan seperti itu. Sungguh.

"Namaku Yook Sungjae. Kau bisa memanggilku Sungjae saja."

'Sungjae Saja'

Oke.

"Kita satu sekolah, bukan?"

"Nde?"

Matanya beralih melihat pakaian yang melekat pada tubuhku. Meski berlapis coat tebal, tapi aku tidak pernah mengancing bagian depan coat, sehingga Yook Sungjae bisa melihat seragam serta dasi pita yang bertengger rapih.

By Your Side BTOB [√]Where stories live. Discover now