W I N D

390 24 32
                                    

Terlalu bosan melukiskan bagaimana hujan turun, bosan ketika aromanya sudah menyatu pada bumi. Kulit ini tidak akan basah meski terkena air, tidak pernah terbakar biar matahari terik. Dengan itu semua, aku tidak perlu repot-repot mengenakan pakaian setebal kamus bahasa---sebetulnya. Juga, tidak harus bersusah memakai payung. Tangan akan pegal. Tapi karena alasan ingin 'terlihat normal', aku memakai apa yang orang pakai.

Di belokan jalan selurus pandanganku, baru terjadi kecelakaan yang mengakibatkan pengendara tewas seketika. Tubuhnya terjepit badan motor. Kepalanya membesut cairan merah berbau anyir. Malaikat maut telah datang dan membawa ruhnya.

Punggung-punggung orang yang mulai berdatangan menghalangiku untuk melihat korban kecelakaan, membuatku berhenti memaparkan apa yang kulihat. Menjengkelkan. Aku sudah bosan mengamati hujan, sekalinya ada objek menarik justru terhalang.

Barusan, lagi-lagi seorang pria lajang yang meninggal. Belakangan ini banyak sekali orang meninggal berjenis pria. Kalau berlangsung terus, aku tidak akan bisa menemukan jodohku.

"Oh, kau di sini?"

Hal menjengkelkan kedua bagiku, saat sedang menggunakan otak untuk berpikir ada yang mengusik.

"Apa? Kau mencariku?"

"Memangnya kapan aku tidak mencarimu?"

Dia menjilat es krim batang dengan wajah menghayati. Padahal kujamin es itu tidak ada rasa. Hanya bayangan. Menyedihkan memang menjadi dirinya. Namun bingung, mengapa Tuhan memilih tanwujud paling aneh tingkahnya ini untuk bersamaku.

"Kau belum menemukannya? Tinggal dua hari, lho."

Sial. Dia mencoba memperingatkanku lagi. Pura-pura tidak melihat, walau tadi kusempat mengomentari caranya memakan es krim.

"Aku akan segera menemukannya, lihat saja. Aishh... lagipula kenapa banyak pria yang mati, sih? Populasi spesies pria jadi berkurang di dunia."

Gelak tawa terdengar, sampai kuah dari dalam mulutnya mencurat di pipiku.

"Mino jorok!"

Kemudian bertengger senyum miring di bibirnya. Aku tahu, dia akan melakukan hal lebih gila secara sengaja. Mari hitung dua detik dari sekarang.

1

2

Lidahnya dijulurkan---merapat hendak menjilat pipiku. Sudah jelas, aku menjauh seraya melempar tatapan jijik.

"Song Mino, berhenti atau aku---"

Tubuhku tersentak, bahu lain membentur bahuku. Tidak. Bukan bahu Mino si konyol ini. Melainkan orang yang baru saja melintas. Aku menoleh, mengabaikan Mino yang terus mengganggu.

"Orang itu... jodohku? Aku menemukannya!"

"Dia? Anak SHS?"

Ya. Aku juga melihat seragam laki-laki itu. Mirip seperti, seragamku?

Intuisiku menegaskan bahwa benar dia, dari jutaan laki-laki bumi. Dia mampu menciptakan suatu rasa yang tidak dapat kujelaskan secara rinci.

"Jadi benar siswa SHS?!"

Sekali lagi telingaku mendengar suara berisik Mino. Sekali lagi pula, aku mengabaikannya---lebih memilih berjalan mendekat pada orang itu, tidak menggubris pekikan Mino menyebut namaku berulang.

Auranya gelap, diselimuti oleh pikiran negatif setiap langkah dirinya ambil. Hah, dunia memang sekejam itu, membiarkan remaja masih sekolah memikul perkara tidak sedikit.

Segera menghadang usai melampaui langkah dirinya, laki-laki itu terlihat terkejut, menghentikan jalannya tergesa.

Keterkejutan berubah bingung, aku bisa membaca segala ekspresinya.

By Your Side BTOB [√]Where stories live. Discover now